Kata
pengantar
Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah swt.
Yang telah memberikan kami nikmat kesehatan, kesempatan dan nikmat-nikmat yang
lain, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Jam’u Al-qur’an ini
sesuai dengan yang kami harapakan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada
nabi Muhammad saw. Yang telah membawa umatnya dari zaman yang penuh dengan
kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Mengenai pembahasan yang akan kami bahas yaitu pembahasan tentang Jam’u Al-qur’an, tentunya banyak hal yang harus kami jelaskan mengenai pembahasan tersebut, seperti halnya; mulai sejak kapan al-qur’an dikumpulkan, dalam bentuk apa pertama kali al-qur’an dikumpulkan, pada masa siapa saja proses pengumrpulan al-qur’an, dan sampai al-qur’an terkumpul menjadi satu mushaf yang kita kenal dengan Rasm Utsmani. Yang nantinya pembahasan ini dapat menunjang kita agar lebih mudah untuk memahami tentang Jam’u Al-qur’an.
Sehingga dengan adanya pembasan ini, kami berharap pembahasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi kita yang sedang mempelajari tentang Ulumu Al-qur’an.
Mengenai pembahasan yang akan kami bahas yaitu pembahasan tentang Jam’u Al-qur’an, tentunya banyak hal yang harus kami jelaskan mengenai pembahasan tersebut, seperti halnya; mulai sejak kapan al-qur’an dikumpulkan, dalam bentuk apa pertama kali al-qur’an dikumpulkan, pada masa siapa saja proses pengumrpulan al-qur’an, dan sampai al-qur’an terkumpul menjadi satu mushaf yang kita kenal dengan Rasm Utsmani. Yang nantinya pembahasan ini dapat menunjang kita agar lebih mudah untuk memahami tentang Jam’u Al-qur’an.
Sehingga dengan adanya pembasan ini, kami berharap pembahasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi kita yang sedang mempelajari tentang Ulumu Al-qur’an.
Makassar,
15 oktober 2011
Penyusun
Pengertian
Jam’u Al-Qur’an
Jam’u Al-Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an) oleh para
ulama mempunyai dua pengertian.
Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu
(menghapalnya dalam hati). Orang-orang yang hafal Al-Qur’an
disebut juga dengan Jumma’u Al-Qur’an atau
Huffazhu Al-Qur’an. Maka adapun penghimpunan Al-Qur’an dalam
arti penghapalannya dan penyemayamannya dengan mantap dalam hati, sesungguhnya
Allah telah mengaruniakan kepada Rasul-Nya terlebih dahulu sebelum kepada yang
lain. Beliau dikenal sebagai Sayyidu
Al-huffazh dan sebagai Awwalu
Al-jumma’.
Kedua, Jam’u Al-Qur’an dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik
dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya ,atau menertibkan
ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah,
ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran
yang terkumpul menghimpun semua surat, sebagaimana ditulis sesudah bagian yang
lainnya.
Sebenarnya kitab Al-Qur’an telah ditulis
seutuhnya pada zaman Nabi Muhammad SAW. Hanya saja belum disatukan dan
surat-surat yang ada juga masih belum tersusun. Penyusunan dalam mushhaf utama belum dilakukan
karena wahyu belum berhenti turun sebelum Nabi Muhammad wafat.
Proses Jam’u Al-Qur’an wa Kitabatuhu pada
masa Nabi Muhammad SAW
Rasulullah sangat menyukai wahyu,
ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan
rasa rindu, lalu menghapal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah
SWT dalam surat Al-qiyamah ayat 17 “Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkanya (di dadamu) dan pembacaanya.”. Oleh sebab itu, Beliau adalah hafiz Al-Qur’an pertama dan merupakan
contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafal Al-Qur’an.
Dalama kitab
sahehnya Al-Bukhori telah mengemukakan tentang tujuh penghafal al-qur’an dengan
tiga riwayat. Mereka adalah Abdullan bin
Mas’ud, Salim bin Ma’qil maula Abi Hudzaifah, Muaz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Abu Zait bin Sakan dan Abu Al-Darda’. Salah satu dari
ketiga riwayat itu adalah;
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Al-Ash, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “ambillah al-qur’an dari empat orang sahabatku; Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muaz, dan Ubay bin Ka’ab”. Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin, yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Salim; dan dua orang dari Anshar, yaitu muaz dan Ubay.( Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:152)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Al-Ash, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “ambillah al-qur’an dari empat orang sahabatku; Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muaz, dan Ubay bin Ka’ab”. Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin, yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Salim; dan dua orang dari Anshar, yaitu muaz dan Ubay.( Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:152)
Penyebutan para hafiz yang tujuh
tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab sejarah
menunjukkan bahwa para sahabat berlomba dalam menghapalkan Al-Qur’an dan mereka
memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghapalkannya. Namun
mereka yang tujuh orang itulah yang hapal seluruh ayat-ayat Al-Qur’an dan telah
menunjukkan hapalannya di depan Nabi, serta isnad-isnadnya sampai kepada kita.
Sedang hafiz Al-Qur’an yang lain yang jumlahnya banyak tidak memenuhi hal
tersebut, terutama para sahabat sudah menyebar ke berbagai wilayah dan sebagian
mereka menghapal dari yang lain.
Upaya pelestarian Al-Qur’an pada
masa Nabi Muhammad SAW. Dilakukan oleh Rasulullah sendiri, setiap kali beliu
menerima wahyu dari Allah. Setelah beliau secara langsung mengingat dan
menghapalnya, Beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya. Lalu sahabat
menyampaikannya secara berantai kepada sahabat lainnya. Demikanlah seterusnya.
Sebagian sahabat itu selain
langsung menghapalnya, juga mencatatnya dalam berbagai benda yang ditemuinya,
seperti pelapah korma atau tulang belulang binatang. Catatan tersebut bukan
untuk orang lain tetapi untuk koleksi pribadi.
Sebagaimana kita ketahui,
Rasulullah mempunyai beberapa orang pencatat wahyu. Di antaranya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Mu’awiyah, Zaid
bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Ka’ab dan Tsabit bin Qeis. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga
Al-Qur’an yang terhimpun dalam dada mereka menjadi kenyataan tertulis. Di
samping itu sebagian sahabat pun menulis Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan
sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah korma,
lempengan batu, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang-tulang
binatang. Zaid berkata kami menyusun Al-Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit
binatang. Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat
dalam menuliskan Al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka ,
namun demikian penulisan Al-Qur’an ini semangkin menambah hapalan mereka.
Kitab Al-Qur’an mencakup
surat-surat panjang dan yang terpendek terdiri dari tiga ayat, sedangkan yang
paling panjang 286 ayat. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad
memberi instruksi kepada para penulis tentang letak ayat pada setiap surat.
Usman menjelaskan baik wahyu itu mencakup ayat panjang ataupun pendek, Nabi
Muhammad selalu memanggil penulisnya dan berkata; Letakkan ayat-ayat tersebut
kedalam surat seperti yang beliau sebut. Zaid bin Tsabit menegaskan kami akan
kumpulkan Al-Qur’an di depan Nabi Muhammad. Menurut Utsman bin Abi Al’as,
Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat
tertentu.
Perlu diketahui, bahwa pada masa Nabi,
Al-Qur’an belum ditulis dan dibukukan dalam satu mushhaf disebabkan
beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1.
Tidak ada
faktor pendorong untuk dibukukan Al-Qur’an, dalam satu mushhsaf
sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Usman bin Affan. Hal ini disebabkan kerena pada masa Nabi para sahabat
penghapal Al-Qur’an masih lengkap dan cukup banyak, tidak adanya unsur-unsur
yang diduga akan mengganggu kelestarian Al-Qur’an, sementara kecendrungan dan
kebiasaan menghapal saat itu lebih dominan dibanding dengan kecendrungan
menulis.
2.
Oleh karena
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mulai dari Nabi SWA. diangkat
menjadi Rasul sampai menjelang akhir wafatnya, maka satu hal yang logis bila
Al-Qur’an baru bisa dibukukan dalam satu mushhaf setelah wafat beliau.
Dapat dirumuskan bahwa Jam’u
Al-Qur’an wa kitabuhu telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW,
yakni penghapalannya dalam dada dengan penuh kesungguhan dan menulisnya secara
terpisah-pisah dan dalam berbagai bahan yang serba sederhana.
Setelah Nabi
Muhammad SAW wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, bergeraklah Musailamah Al-kazzab
menda’wahkan dirinya Nabi. Dia mengembangkan ajarannya dan
kebohongan-kebohongannya. Dia dapat mempengaruhi banu Hanifah dari penduduk
Yamamah lalu mereka menjadi murtad. Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan Musailamah itu, beliu menyiapkan
satu tentara yang terdiri dari 4000 pengendara kuda yang dipimpin oleh Khalid
bi Walid. Dan banyaklah sahabat nabi yang gugur di waktu itu di antaranya Zaid
ibnu Khatab. Selain itu syahid pula 700 orang penghapal Al-qur an,
walaupun pada akhirnya pasukan Musailamah dapat dipukul mundur
Peristiwa
tersebut menggugah hati Umar bin Khattab untuk meminta khalifah Abu Bakar agar Al-Qur’an segera dikumpulkan dan ditulis dalam
sebuah mushaf. Usul ini ia sampaikan karena beliu merasa khawatir bahwa
Al-Qur’an akan berangsur angsur hilang bila hanya mengandalkan hapalan, apa
lagi para penghapal Al-Qur’an semakin berkurang seiring dengan semakin banya
syahid di medan perang (perang Yamamah 12 H). Semula Abu Bakar merasa ragu-ragu untuk menerima gagasan Umar bin Khattab itu. Namun akhirnya beliau menerima gagasan itu setelah betul-betul
mempertimbangkan kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk segera
mengumpulkan Al-Qur’an dari sahabat penghapal Al-Qur’an untuk ditulis dan
dibukukan dalam sebuah mushaf. Ciri penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah seluruh Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis
menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang sangat teliti dan
cermat.
Sebuah riwayat dari
Bukhari (w. 870M) meyebutkan :
Dari Zaid bin Tsabit,
ia berkata :”Abu Bakar memberitahukan kepadaku tentang orang yang gugur
dalam pertempuran Yamamah, sementara Umar bin Khattab berada di sisinya, Abu Bakar berkata: Umar telah datang kepadaku bahwa peperangan
Yamamah telah mengakibatkan gugurnya banyak penghafal Al-Qur’an, dan aku (Umar)
khawatir akan berguguran pula para penghafal lainnya dalam peperangan lain
sehingga mungkin banyak bagian Al-Qur’an akan hilang. Umar bin Khattab meminta agar aku
untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Lalu aku berkata kepada Umar bin Khattab: Bagaimana mungkin
aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasullah ? Umar bin Khattab berkata: Demi Allah
ini merupakan hal yang baik. Umar bin Khattab senantiasa mendesak
aku untuk melakukan hal tersebut, sampai akhirnya Allah melapangkan hatiku dan
aku pahami maksud Umar bin Khattab. Selanjutnya Zaid
berkata: kemudian Abu Bakar berkata kepadaku: sesungguhnya kamu pemuda yang
cekatan dan aku tidak meragukan kemampuanmu; kamu dulu penulis wahyu untuk
Rasullah, kini telusurilah jejak Al-Qur’an dan kumpulkanlah. Zaid berkata: Demi
Allah seandainya aku disuruh memindahkan gunung, maka pekerjaan itu tidak lebih
berat bagiku dari perintah mengumpulkan Al qur an. Lalu aku berkata: kenapa
anda berdua (Abu Bakar dan Umar bin Khattab ) melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan Rasullah ? Maka Abu Bakar menjawab; Demi Allah itu pekerjaan yan baik. Setelah
berulang kali Abu Bakar mendesakku, akhirnya Allah melapangkan hatiku
sebagaimana dilapangkan hati Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Aku lalu mencari
Al-Qur’an yang tertulis di atas pelepah-pelepah korma, batu-batu tulis, dan
yang tersimpan (dalam bentuk hapalan) di dada-dada manusia, kemudian aku
kumpulkan. Akhirnya aku temukan bagian akhir surat At-Taubah pada Abu Khuzaimah
al-Anshari, yang tidak aku dapatkan pada orang lain. Dan shuhuf yang
dikumpulkan itu berada ditangan Abu Bakar sampai wafatnya, lalu dipegang Umar bin Khattab pada masa hidupnya,
kemudian disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Dalam riwayat
ini, jelas bahwa Abu Bakar takut bertindak apa yang belum dilakukan Rasullah,
karena sangat taatnya kepada Nabi. Kemudian Umar bin Khattab berijtihad dengan katanya: Demi Allah ini suatu kebaikan (pengumpulan
Al-Qur’an).
Demikian pula Zaid
bin Tsabit. Ia juga tidak mau bertindak apa yang belum pernah dilakukan
Rasulullah karena takut dikatan berbuat bid’ah terhadap masalah agama.
Riwayat ini
seolah-olah member pengertian bahwa keengganan kedua orang sahabat Nabi itu
berkenaan dengan pengumpulan Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an telah terkumpul
semenjak zaman Rasullah dan dihadapan beliau.
Tetapi jika
direnungkan secara seksama, saran Umar bin Khattab ialah untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an di atas lembaran-lembaran.
Sementara , karena sangat taatnya para sahabat kepada Rasullah, mereka takut
kalau perbuatan ini tergolong dalam kategori bid’ah yang terarang. Kekhawatiran
ini akhirnya diredakan oleh Umar bin Khattab , yang berulang kali menegaskan bahwa masalah ini adalah untuk kebaikan
dan kemaslahatan umat.
Abu Bakar memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an seusai
perang Yamamah , Tahun 12 H, perang antara kaum muslimin dan kaum murtad
(pengikut Musailamah Al-kazzab) dimana 700 orang sahabat penghapal Al-qur an
gugur. Melihat kondisi tersebut, Umar bin Khattab meresa sangat khawatir lalu di usulkan supaya diambil langkah untuk usaha
pengumpulan Al-Qur’an. Setelah terjadi perdebatan yang cukup alot antara Abu Bakar , Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit. Maka didapatilah kata sepakat, bahawa akan dilakukan
pengumpulan Al-Qur'an. kemudian mulailah Zaid bin Tsabit
mengumpulkan ayat-ayat yang dia himpun dari catatan-catatan pada pelepah korma,
batu-batu tembikar dan di dalam para penghapal Al-Qur’an.
Perintah pengumpulan
Al-Qur’an oleh Abu Bakar ra selesai dilaksanakan dalam waktu satu tahun. Zaid
menerima perintah beberapa saat setelah perang Yamamah dan selesai beberapa waktu
memjelang wafatnya Abu Bakar ra. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an
dalam satu mushaf, di samping terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian
sahabat, seperti mushaf Ali, Mushaf Ubai dan mushaf ibnu mas’ud, tetapi
mushaf-mushaf tersebut ditulis seperti dengan cara pengumpulan Al-Qur’an yang
dilakukan oleh Zaid, juga tidak terhimpun secara tertib sebagaimana mushaf Abu Bakar . Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada
himpunan Al-Qur’an yang dikerjakan Abu Bakar . Para ulama berpendapat bahwa penamaan Qur an dengan
mushaf itu baru muncul sejak saat itu , di saat Abu Bakar mengumpulkan Al-qur an. Ali berkata: Orang yang
paling besar pahalanya dalam hal mushaf adalah Abu Bakar
Proses Jam’u Al-qur an Wa Kitabatuhu Pada masa Khalifah Usman Bin ‘Affan
Masa
kekhalifahan Usman bin Affan , pengumpulan Al-Qur’an dilatar belakangi antara
lain, meluasnya daerah islam dan semakin banyaknya umat memeluk agama islam
secara berbondong-bondong. Dan terpisah-pisahnya para sahabat di berbagai
daerah kekuasaan dan dari merekalah masyarakat mempelajari Al-Qur’an. Dan tidak
diragukan lagi terjadi perbedaan dalam cara membaca Al-Qur’an. Seperti penduduk
Syam membaca dengan qiraat Ubai bin ka’ab, penduduk kuffah membaca dengan
Qiraat Abdullah bin Mas’ud dan yang lain memakai qiraat Abu musa Al-as’ari.
Perbedaan ini membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara merteka
sendiri. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain.
Inisiatif Usman
bin Affan untuk segera membukukan dan menggandakan Al-Qur’an muncul setelah ada
usulan dari Khuzaifah. Kemudian, Khalifah Usman bin Affan yang isinya meminta
agar Hafshah mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin kembali menjadi
beberapa mashaf. Setelah itu, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk
bekerjasama menggandakan Al-Qur’an. Usman bin Affan berpesan bahwa “jika
terjadi perbedaan di antara kalian mengenai Al-Qur’an, tulislah menurut dialeg
Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Setelah tim
tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya, Khalifah Usman bin Affan
mengembalikan mushaf orisinil (master) kepada Hafsah. Kemudian, beberapa mushaf
hasil kerja tim dikirimkan ke berbagai kota, sementara mushaf-mushaf lainnya
yang masih ada pada waktu itu diperintahkan Khalifah Usman bin Affan untuk
segera dibakar. Pembakaran mushaf ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
pertikaian di kalangan umat karena setiap mushaf yang dibakar mempunyai
kekhususan. Para sahabat penulis wahyu pada masa Nabi SWA. tidak diikat oleh
ketentuan penulisan yang seragam dan baku sehingga perbedaab antara koleksi
seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin terjadi. Ada yang
kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan penjelasan-penjelasan Nabi
atau sahabat senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat mengenali
dengan pasti mana ayat dan mana penjelasan ayat, misalnya dengan membubuhi
kode-kode tertentu yang mungkin hanya diketahui yang bersangkutan.
Usman bin Affan
lalu mengirim Mushaf Al-Qur’an ke beberapa wilayah yaitu, Kufah, Basrah
dan Syam serta ditinggalkan satu di Madinah sebagai Mushaf Imam. Penamaan
Mushaf Imam ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat
terdahuhlu di mana ia mengatakan; bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad,
dan tulislah untuk semua orang satu Imam (mushaf Al-Qur’an pedoman). Kemudian
ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran atau mushaf selain itu. Umat
pun menerima perintah itu dengan patuh. Ibnu Jarir mengatakan berkenaan dengan
apa yang telah dilakukan Usman Bin Affan: Ia telah menyatukan umat islam dalam
satu Mushaf, sedang Mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas
agar setiap orang yang mempunyai mushaf yang berlainan dengan mushaf yang disepakati
ia membakar mushaf tersebut. Umat pun mendukungnya dengan taat, dan mereka
melihat dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat
bijaksana.
Perbedaan jam’ul Al- Qur’an wa Kitabatuhu di masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan
Dari keterangan di atas jelaslah
bahwa pengumpulan Al-Qur’an Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan Al-Qur’an yang
di lakukan utsman baik dari segi latar belakang maupun mitodanya. Motifasi Abu
Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena banyaknya para
qurra’ yang gugur dalam peperangan (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:167)
Sedangkan motifasi Abu Bakar karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca
Al-Qur’an yang puncaknya dengan adanya perbedaan tersebut mereka saling
mengalahkan satu dengan yang lain.
Pengumpulan Al-Qur’an yang di lakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang, pelapah, kurma dan sebagainya kemudian di kumpulkan dalam satu mushaf. Tulisan-tulisan tersbut di kumpulkan dengan ayat-ayat dan surat-suratnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak di mansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Al-Qur’an di turunkan. Sedangkan pengumpulan yang di lakukan Utsman adalah menyalinnya satu huruf di anatara ketujuh huruf itu untuk mempersatukan kaum muslim dalam satu mushab dan satu huruf yang mereka baca tanpa enam huruf lainnya (diriwayatkan oleh Ibnu Athin dan lainnya).
Mengenai jumlah Al-qur’an yang di kirimkan oleh Ustman ke-berbagai daerah, para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushab yang dikirim di Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibnu Abi Daud mengatakan, ”aku mendengar Abu Khatim Asjistani berkata, “ telah di tulis tujuh buah mushab, lalu di kirimkan ke Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah.”Ada juga yang mengatakan ada empat buah mushab yang masing-masing di kirimkan ke Irak, syam, Mesir dan mushab Imam. Abu Amru Addani berkata dalam Al-Muqni” sebagian besar ulama’ bependapat bahwa ketika Utsman menulis mushab-mushab itu, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan, lalu di kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah; ke-Kufah, Basrah, Syam, dan di di tinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
Pengumpulan Al-Qur’an yang di lakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang, pelapah, kurma dan sebagainya kemudian di kumpulkan dalam satu mushaf. Tulisan-tulisan tersbut di kumpulkan dengan ayat-ayat dan surat-suratnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak di mansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Al-Qur’an di turunkan. Sedangkan pengumpulan yang di lakukan Utsman adalah menyalinnya satu huruf di anatara ketujuh huruf itu untuk mempersatukan kaum muslim dalam satu mushab dan satu huruf yang mereka baca tanpa enam huruf lainnya (diriwayatkan oleh Ibnu Athin dan lainnya).
Mengenai jumlah Al-qur’an yang di kirimkan oleh Ustman ke-berbagai daerah, para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushab yang dikirim di Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibnu Abi Daud mengatakan, ”aku mendengar Abu Khatim Asjistani berkata, “ telah di tulis tujuh buah mushab, lalu di kirimkan ke Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah.”Ada juga yang mengatakan ada empat buah mushab yang masing-masing di kirimkan ke Irak, syam, Mesir dan mushab Imam. Abu Amru Addani berkata dalam Al-Muqni” sebagian besar ulama’ bependapat bahwa ketika Utsman menulis mushab-mushab itu, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan, lalu di kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah; ke-Kufah, Basrah, Syam, dan di di tinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
Tertib Ayat dan Surat
Al-qur’an merupakan kitab suci yang di dalamnya terdiri dari surat dan ayat-ayat. Pengertian dari surat sendiri yaitu sejumlah ayat al-qu’an yang mempuyai permulaan dan kesudahan (syekh manna’ al-qotthon, 2004: 174). Sedangkan arti dari ayat yaitu sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-qur’an. Mengenai tertib ayat dan surat al-qur’an merupakan suatu ketetapan dari yang bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah saw, menurut sebagian ulama’ pendapat ini merupakan ijma’. Penjelasan di atas di perkuat oleh Azzarkasi dalam Al-Burhan dan Abu Jakfar Ibnu Azzubair dalam munasabahnya mengatakan, “ tertib ayat –ayat didalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa di perselisihka kaum muslimin.”
Jibril menurunkan ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu di letakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut, beliau bersabda kepada mereka,”letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya di sebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu.”( Al-Itqan,lihat maktabah samilah). Susunan dan penetapan ayat tersebut adalah sebagai mana yang telah di sampaikan oleh para sahabat kepada kita.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an sepeti yang ada di dalam mushab yang beredar diantara kita adalah tauqifi, yang tidak di ragukan lagi. Komentar Assuyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surat-surat tertentu, “ pembacaan surat-surat yang di lakukan nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayat al-Qur’an adalah tauqifi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tartib yag berbeda dengan yang mereka dengar dari nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawattir “(Al-Itqan lihat maktaba samilah).
Al-qur’an merupakan kitab suci yang di dalamnya terdiri dari surat dan ayat-ayat. Pengertian dari surat sendiri yaitu sejumlah ayat al-qu’an yang mempuyai permulaan dan kesudahan (syekh manna’ al-qotthon, 2004: 174). Sedangkan arti dari ayat yaitu sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-qur’an. Mengenai tertib ayat dan surat al-qur’an merupakan suatu ketetapan dari yang bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah saw, menurut sebagian ulama’ pendapat ini merupakan ijma’. Penjelasan di atas di perkuat oleh Azzarkasi dalam Al-Burhan dan Abu Jakfar Ibnu Azzubair dalam munasabahnya mengatakan, “ tertib ayat –ayat didalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa di perselisihka kaum muslimin.”
Jibril menurunkan ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu di letakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut, beliau bersabda kepada mereka,”letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya di sebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu.”( Al-Itqan,lihat maktabah samilah). Susunan dan penetapan ayat tersebut adalah sebagai mana yang telah di sampaikan oleh para sahabat kepada kita.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an sepeti yang ada di dalam mushab yang beredar diantara kita adalah tauqifi, yang tidak di ragukan lagi. Komentar Assuyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surat-surat tertentu, “ pembacaan surat-surat yang di lakukan nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayat al-Qur’an adalah tauqifi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tartib yag berbeda dengan yang mereka dengar dari nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawattir “(Al-Itqan lihat maktaba samilah).
Tertib surat
Para ulama’ berbeda pendapat tentang tertib surat-surat al-Qur’an yang ada sekarang
Para ulama’ berbeda pendapat tentang tertib surat-surat al-Qur’an yang ada sekarang
a.
Ada yang
berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan di tangani langsung oleh
nabi sebagaiman di beri tahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. pendapat
ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca surat secara tertib di dalam
shalatnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa nabi pernah membaca beberapa
surat mufassal (surat-surat pendek).
b.
Kelompok kedua
berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab
ternyata ada perbedaan tertib dalam mushab-mushab mereka. Misalnya mushab Ali
di susun menurut tertib nuzul, yakni di mulai dengan iqra’ kemudian Al-Mudassir
dan seterusnya hingga akhir surat Makkah Madaniyah.
Adapun dalam mushab Ibnu Mas’ud, yang pertama di tulis adalah Al-Baqarah, Annisa’ lalu di susul Al-Imron, sedangkan dalam mushab Ubai, yang pertama di tulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, oAnnisa’, lalu Ali-Imrn.
Adapun dalam mushab Ibnu Mas’ud, yang pertama di tulis adalah Al-Baqarah, Annisa’ lalu di susul Al-Imron, sedangkan dalam mushab Ubai, yang pertama di tulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, oAnnisa’, lalu Ali-Imrn.
c.
Kelompok ketiga berpendapt sebagian surat itu
tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad sahabat.
Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat di masa
nabi As-sab’u ath al-hawamim al- mufashshal di masa hidup Rasulullah
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua yang menyatakan tartib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidaklah bersandar pada suatu dalil. Sebab ijtihad sebagian sahabat mengenai tartib mushab mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum al-Qur’an di kumpulkan secara tertib ketika di Utsman di kumpulkan, di tertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya pada suatu dialek, umatpun sepakat maka mushab-mushab yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushabnya masing-masing.
Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian: Ath-Thiwal, Al-Mi’in, Al-Matsan dan Al-mufassal (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:181).
Berikut ini akan kami kemukakan secara singkat
pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
ü
Ath-Athiwal ada
tujuh surat, yaitu Al-Baqarah, Al-Imron,Al-Nisa’,Al-Maidah,Al-An am Al-A’raf
dan yang ketuju ada yang mengatakan Al-Anfal dan Bara’ah juga termasuk karena
tidak di pisahkan dengan basmalah di antara keduanya adapula yang berpendapat
bahwa yang ketuju adalah surat yunus.
ü
Al-Mi’un adalah
surat-surat yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
ü
Al-Matsani adalah surat-surat yang jumlah
ayatnya di bawah Al-Mi’un. Di namakan Al-Matsanai karena surat-surat itu di
ulang-ulang bacaannnya lebih banyak dari ath-thiwal dan Al-Mi’un.
ü
Al-Mufassal
adalah dikatakan bahwa surat-surat ini di mulai dari Qaf, adapula yang
mengatakan di mulai dari surat Al-Hujurat. Mufasal di bagi menjadi tiga’,
Thiwal, Austh,dan kisshar (syekh manna’ al-qotthon, 2004: 182). Thiwal di mulai
dari srurat Qaf atau Al-Hujarat sampai dengan ‘amma atau Al-Buruj, Austh di
mulai dari surat ‘amma atau Al-Buruj atau Al-dhuha atau lam yakun, dan kisshar
di mulai dari adhuha atau lamyakun sampai dengan surat Al-Qur’an yang lain.
Dinamakan
mufassal karena banyaknya fashl (banyaknya pemisah) di antara surat-surat
tersebut dengan basmalah jumlah surat Al-Qur’an terdapat seratus empat belas
surat ada yang berpendapat julmlahnya seratus tiga belas, karena surat Al-Anfal
dan Bara’ah di anggap satu surat. Adapun jumlah ayatnya enam ribu dua ratus
ayat. Ayat yang lebih dari itu terdapat perbedaan pendapat. Ayat terpanjang
adalah ayat tentang utang piutang dan surat terpanjang adalah surat Al-Baqarah
(Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:182.
Rasm Utsmani
Kita telah membicarakan tentang pengumpulan al-qur’an pada masa Utsman. Zaid dan tiga orang qurais telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan al-qur’an yang disetujui oleh Utsman. Para ulama menamakan metode itu dengan sebutan Al-rasm Al-‘Utsmani Lil Mushaf (penulisan mushaf utsmani) (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:182), satu nama yang dinisbatkan kepada Utsman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang setatus hukumnya.
1) Ada yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani untuk
al-qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan al-qur’an,
dan harus sungguh-sungguh disucikan.
2) Ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa Rasm Utsman
ini bukan tauqifi dari nabi, tetapi hanya satu cara penulisan yang disetujui
Utsman dan diterima marakat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan
yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
3) Sebagian ulama lain berpendapat, Rasm Utsman itu
hanyalah sebutan istilah, metode dan tidaklah mengapa berbeda dengannya jika
orang menggunakan satu model Rasm tertentu dalam penulisan, kemudian Rasm itu
tersebar luas diantara mereka.
Abu Bakar Al-Baqillani menyebutkan
dalam kitabnya Al-Intishar, “tak ada yang diwajibkan oleh Allah dalam hal
penulisan mushaf” (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:184). Karena itu para penulis
al-qur’an dan mushaf tidak diharuskan menggunakan khat tertentu. Dan mengenai
penulisan al-qur’an atau penulisan mushaf, dalam nash-nash atau konsep
al-qur’an tidak menjelaskan bahwa penulisan itu hanya dibolehkan menurut cara
khusus dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar. Dalam nash juga
tidak terdapat satu keterangan pun yang mewajibkan dan menunjukan hal tersebut.
Bahkan sunnah menunjukkan dibolehkanya penulisan al-qur’an menurut cara yang
mudah sebab Rasulullah menyuruh untuk menyuruhnya tetapi tidak menjelaskaan
kepada mereka atau melarang seorang menuliskanya dengan cara tertentu. Sehingga
berbeda-beda penulisan al-qur’an. Diantara mereka ada yang menuliskan kata
menurut pengucapan lafadz dan ada pula yang menambah atau yang mengurangi karena
dia tahu bahwa yang demikian itu hanya berupa cara. Ringkasnya, dari penjelasan
Abu Bakar Al- baqillani yaitu setiap orang yang mengatakan bahwa manusia harus
mengikuti Rasm tertentu yang wajib diikuti, yang harus menunjukkan hujjah atas
kebenaran pendapatnya. Dan tentu saja ia tidak dapat menunjukkanya.
Bertitik dari pendapat ini, sebagian orang sekarang menyerukan untuk menuliskan al-qur’an yang sesuai dengan kaidah-kaidah imlak yang sedang tersebar luas dan diakui, sehingga akan memudahkan para pembaca yang sedang belajar membacanya. Dan saat membaca al quran ia tidak merasakan tidak ada perbedaan Rasm al-qur’an dengan kaidah Rasm Imlak yang dipelajari itu.
Bertitik dari pendapat ini, sebagian orang sekarang menyerukan untuk menuliskan al-qur’an yang sesuai dengan kaidah-kaidah imlak yang sedang tersebar luas dan diakui, sehingga akan memudahkan para pembaca yang sedang belajar membacanya. Dan saat membaca al quran ia tidak merasakan tidak ada perbedaan Rasm al-qur’an dengan kaidah Rasm Imlak yang dipelajari itu.
Dari keterangan di atas sangat jelas sekali bahwa
al-Qur’an memang benar-benar di jaga keasliannya oleh Allah SWT. dengan cara
memberi kemudahan bagi nabi Muhammad dalam mengafalnya. Sehingga orang-orang
yang hidup dalam masanya sangat mudah untuk menghafal al-qur’an dan
memahaminya. Namun ketika zaman Abu Bakar orang-orang yang hafal Al-Qur’an yang
meninggal dalam peperangan, maka Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dengan cara
mengumpulkan surat-surat Al-Quran yang di tulis di kulit, tulang, dan pelapah
kurma sehingga di susun menjadi satu mushab. Dan ketika masa utsman, terdapat
banyak perbedaan mengenai bacaan al-qur’an yang berujung kepada saling
mengkafirkan. Keadaan tersebut membuat Utsman resah dan pada akhirnya Utsman
melakukan perbaikan dan mengumpulkan al-qur’an dalam satu mushaf yang kita
kenal dengan Mushaf Utsmani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar