Kamis, 26 Desember 2013

Pajak dari Sisi Hukum Perdata


BAB 1
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Peran pajak sangat penting yaitu sebagai salah satu sumber pendapatan negara terbesar, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai berbagai pengeluaran negara termasuk pengeluaran pembangunan.
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat .
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investmen.
Sehingga tidak mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang diberlakukan oleh hampir seluruh Negara di dunia.
Pajak selain sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, juga bermanfaat sebagai alat pemerataan pendapatan dan pendorong investasi. Namun masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pajak menyebabkan pajak masih dianggap sebagai suatu beban, sehingga seringkali ditemukan wajib pajak yang tidak melunasi pajak yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wajib pajak sering berupaya untuk menghindari pajak yang dikenakan kepadanya, hal ini tentunya merugikan Negara karena Negara akan kehilangan potensi pemasukan dari sektor pajak.
Kondisi demikian membuat diperlukannya ketegasan terhadap wajib pajak dalam pemungutan pajak dengan menerapkan ketentuan hukum (law enforcement) sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Adanya kekuatan hukum mengikat dalam bentuk undang-undang menjadikan pajak memiliki sifat dasar dipaksakan yang berarti apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, maka dapat dikenai sanksi terhadapnya. Mengenai kedudukan Hukum pajak dalam sistem hukum Indonesia mengandung dua aspek, yakni baik aspek hukum perdata maupun aspek hukum pidana.


B.    TINJAUAN PUSTAKA
Pajak
Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor pajak. Definisi pajak dikemukakan oleh Remsky K. Judisseno (1997:5) adalah sebagai berikut: “Pajak adalah suatu kewjiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan dan negara”.

Sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku pada saat ini menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang telah menetap di Indonesia selama 183 hari secara berturut-turut dan memperolah penghasilan dari kegiatan usahanya wajib untuk melakukan kegiatan perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya system self-assessment yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang perpajakan, berarti kewajiban perpajakan setiap wajib pajak, dihitung, diperhitungkan, dibayar, dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak ke pemerintah dalam hal ini kantor pelayanan pajak dimana wajib pajak terdaftar atau berdomisili.

Dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan yakni Undang-Undang No.17 Tahun 2000, setiap wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari kegiatan usahanya wajib menyetor ke kas negara pajak atas penghasilan yang diterimanya. Besarnya kewajiban perpajakan wajib pajak tersebut diatur dalam Undang-Undang Perpajakan dan peraturan pemerintah.


Hukum Perdata
Kasus hukum perdata ini meliputi pengaturan mengenai orang, benda, perikatan dan pembuktian. Pengaturan mengenai orang diantaranya adalah hukum perkawinan. Pengaturan mengenai benda diantaranya pengaturan mengenai hak atas suatu benda, warisan, gadai, hipotik dan lain sebagainya. Pengaturan mengenai perikatan termasuk diantaranya adalah perjanjian kontrak, sewa menyewa, jual beli, dan lain sebagainya sedangkan yang termasuk dalam pengaturan mengenai pembuktian antara lain tentang sumpah dihadapan hakim, pengakuan, persangkaan dan lewat waktu.

Hubungan Hukum Perdata dan Hukum Pajak
Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik tetapi hukum pajak mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan. Hal ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan utang, dan sebagainya. Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini mungkin sekali timbul karena banyak d pergunakannya istilah-itilah hukum perdata dalam pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian pengertian yang dianut oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak. 


 
Pajak Dalam Hukum Perdata
Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antar orang-orang pribadi, dimana hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya, ini berarti bahwa kebanyakan hukum pajak mencari dasar pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkup perdata seperti:
§  Pendapatan
§  Kekayaan
§   Perjanjian atau penyerahan
§  Pemindahan hak karena warisan
§  Penerimaan Negara
1.      BEA dan CUKAI
Pada hakekatnya bea dan cukai termasuk pajak tidak langsung dan merupakan pungutan pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)
BEA
  1. Bea masuk yaitu dipungut atas barang yang dimasukan kedalam daerah pabean berdasarkan harga nilai barang tersebut atau berdasarkan tariff yang sudah ditentukan.
  2. Bea keluar yaitu dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan keluar daerah pabean berdasarkan tariff yang sudah sitentukan bagi masing-masing golongan barang, bea ini sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi dan sekarang diganti dengan “pajak export tambahan”.
CUKAI
Yaitu pungutan yang dikenakan atasa barang-barang tertetu berdasarkan tariff yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu.
Contoh : rokok, minuman keras, dsb.
2.      RETRIBUSI
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara langsung dan nyata kepada pembayar.
Contoh : retribusi parker, retribusi jalan tol, dsb.
3.      IURAN
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar.
Contoh : iuran sampah, iuran keamanan, dsb.
Dalam prakteknya tidak ada perbedaan yang tajam antara pemberian jasa atau fasilitas kepada individu atau kelompok sehingga terdapat istilah retribusi dan iuran”.
4.      SUMBANGAN
Yaitu pungutanyang tidak termasuk kedalam retribusi dan iuran dengan demikian pungutan yang dilakukan tidak jelas nampak ada diberikan suatu balas jasa atau fasilitas sebagai imbalannya.
Contoh ; sumbangan wajib.

Ketentuan Utang Pajak dalam KUH Perdata
KUH Perdata telah menempatkan utang pajak untuk didahulukan daripada kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1137 sebagai berikut :
“Hak dari Kas Negara, Kantor lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu”.
Dengan demikian maka menurut Pasal 1137 KUH Perdata tersebut maka kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu yang merujuk pada pengaturan dalam undang-undang khusus, yaitu Undang-Undang Perpajakan.
Dilihat dari definisi utang dalam Undang-undang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKP) secara luas, utang merupakan kewajiban yang dapat timbul dari perjanjian atau dari perikatan karena undang-undang.
Sementara pemahaman pajak dari persepektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, dimana Negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintah.
Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Dalam Pasal 23 (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang dipungut tidak dengan undang-undang. Dalam Pasal 23 (a) UUD 1945 tersebut, yang merupakan sumber hukum formal dari pajak, diantaranya tersirat falsafah pajak yang mendalam.
Mengenai dasar falsafah pajak, H. Rochmat Soemitro menyatakan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada Pemerintah yang tidak ada imbalannya yang berdasarkan UUD RI 1945 langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan yang demikian itu, dalam kata-kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampasan, pencopetan, atau pemberian hadiah dengan sukarela dan tanpa paksaan. Maka supaya peralihan kekayaan dari rakyat kepada Pemerintah tidak dikatakan sebagai perampokan/pemberian hadiah secara sukarela, maka disyaratkan bahwa pajak, sebelum diberlakukan, harus mendapatkan persetujuan rakyat terlebih dahulu. Lembaga perwakilan sebagai pembentuk undang-undang merupakan representasi dari rakyat, sehingga ketika suatu rancangan undang-undang termasuk undang-undang pajak dianggap telah disetujui rakyat jika telah diundangkan oleh DPR.
Jadi utang pajak muncul berdasarkan undang-undang yang menimbulkan perikatan kepada warga negara untuk melakukan pembayaran pajak . sehingga utang pajak dapat masuk dalam lingkup utang dalam kepailitan yang luas, yaitu utang yang timbul karena undang-undang.
2. Ketentuan Utang Pajak Perusahaan Pailit dalam perundangan perpajakan (KUP)
UU PPSP tidak menyebutkan secara khusus mengenai pengaturan tindakan menagih utang pajak kepada perusahaan yang pailit. Demikian pula halnya dalam peraturan formal perpajakan yang pokok-pokoknya diatur dalam UU KUP.
Suatu utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau Penanggung Pajak. Dengan adanya tagihan pajak, negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak tersebut atas barang-barang milik Penanggung Pajak, sebagaimana bunyi Pasal 21 ayat (1) UU KUP yakni “Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.”
Adapun maksud dari adanya hak mendahulu negara ini dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP, yaitu untuk menetapkan kedudukan negara sebagai Kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pelaksanaan hak mendahulu negara atas utang pajak tersebut adalah dengan dilakukan pembayaran atas utang pajak terlebih daulu, pembayaran kepada Kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
Dengan adanya perubahan pada UU KUP, khususnya Pasal 21 mengalami penambahan ayat yaitu ayat (3a), yang menyatakan bahwa dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, maka kurator atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Namun demikian hak mendahulu negara telah dikecualikan untuk didahulukan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) yang menyatakan bahwa kedudukan utang pajak adalah mendahulu dari hak mendahulu lainnya kecuali biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mengenai Hak Kas Negara sebagaimana disebut dalam KUH Perdata harus didahulukan, dalam pelaksanaan hak mendahulunya diatur dalam UU KUP. Undang-undang ini memberikan kedudukan mendahulu untuk utang pajak kecuali atas biaya perkara pelelangan atau penyelesaian warisan.
UU KUP telah memberikan kedudukan istimewa untuk utang pajak melebihi kedudukan semua kreditor dalam kepailitan, termasuk hak jaminan dan juga mendahulu dari buruh dan biaya kepailitan serta kreditor konkuren. Adanya kebijakan ini mesti ditinjau ulang karena selain telah merampas hak kreditor pemegang hak jaminan (walaupun ketentuan Pasal 21 ayat (3a) UU KUP tidak efektif berlaku untuk kreditor hak jaminan).
Utang Pajak tidak dapat menerapkan hak mendahulunya atas utang dengan hak jaminan kebendaan atas dasar pertimbangan sebagai berikut :
a) Kedudukan negara sebagai kreditor preferen dan adanya hak mendahulu atas utang pajak tidak dapat melepaskan hak jaminan yang sudah melekat pada benda yang dijadikan obyek jaminan, sehingga kreditor pemegang hak jaminan tetap berhak mengambil pelunasan terlebih dahulu atas benda tersebut.
b) Hak untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan oleh kreditor diakui oleh UUK dan PKPU, kreditor dapat melakukan eksekusi dan dia tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan, baik UUK dan PKPU maupun UU KUP.
Terhadap ketentuan Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, ketika eksekusi atas harta debitor yang dibebani oleh jaminan, eksekusi tersebut dilakukan oleh Kreditor itu sendiri, bukan oleh Kurator. Bahkan ketika penjualan harta debitor yang dibebani hak jaminan dilakukan Kurator maka Kreditor tetap berhak atas pelunasan utangnya, dengan dibebani biaya kepailitan.
Lalu bagaimana kedudukan hak istimewa utang pajak dibanding dengan utang kreditor preferen lainnya, yaitu buruh dan biaya kepailitan dan imbalan kurator?
Di banyak negara selama bertahun-tahun negara diberikan hak yang istimewa dalam hal kepailitan, namun selama lebih dari dua puluh tahun beberapa yurisdiksi telah mempertanyakan hak istimewa tersebut, dan meneliti secara mendalam biaya yang ditimbulkan dan manfaat serta pijakan moral dari kebijakan tersebut128.
Adanya kebijakan hak mendahulu dari seluruh harta debitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU KUP, dan terkait dengan adanya kreditor lain, seperti buruh dan biaya kepailitan maka perlu dipertimbangkan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Kreditor separatis jelas tidak akan mau melepaskan hak jaminan kebendaan yang melekat pada harta benda debitor untuk diambil pelunasan terlebih dahulu untuk utang pajak, selain itu berbagai instrumen dalam hak jaminan kebendaan telah dibuatu untuk kepastian hukum pelunasan utang kepada pemegang hak jaminan kebendaan;
b. Jumlah dana yang didapat dari pelunasan utang pajak dalam kepailitan sangatlah kecil dibanding pendapatan lainnya. Selain itu para debitor pailit dapat saja dalam keadaan tidak mampu membayar termasuk utang pajak. Lebih baik penagihan pajak diutamakan pada wajib pajak lain yang mampu membayar pajak .
c. Kreditor enggan menyelesaikan piutangnya melalui kepailitan karena adanya kebijakan mendahulu untuk utang pajak, yang mana jumlahnya dapat signifikan mengurangi pembayaran kepada kreditor non separatis. Dalam keadaan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh utang, maka jika hak mendahulu untuk utang pajak tetap dilaksanakan, buruh dan kreditor konkuren tidak akan mendapatkan sepeserpun rupiah, sebagaimana hal-hal yang perlu dipertimbangkan yang telah dipaparkan dalam Bab terdahulu pada bagian utang upah pekerja.
3. Ketentuan Utang Pajak Perusahaan Pailit dalam UUK dan PKPU
Proses pelunasan tagihan utang pajak perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara tegas dalam UUK dan PKPU. Hal ini dimungkinkan karena beberapa alasan. Berdasarkan uraian penjelasannya, UUK dan PKPU diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, adil, terbuka dan efektif. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) yang merupakan peraturan perundangundangan peninggalan pemerintah Hindia Belanda sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utangpiutang.
Namun demikian, UUK dan PKPU hanya terbatas mengatur tentang aspekaspek hukum bagi kreditor dan debitor dalam perkara kepailitan. Dari bunyi pasal-pasal yang ada, UUK dan PKPU menguraikan secara jelas pembagian kreditor berdasarkan tingkatan hak yang dimilikinya. Dari beberapa jenis tingkatan hak kreditur yang dikenal di Indonesia, maka kreditur yang memegang jaminan kebendaan (yaitu: jaminan berupa Hak Tanggungan, Gadai dan Fidusia) diakui secara tegas sebagai kreditur yang mempunyai hak preferensi eksklusif terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Oleh karena itulah, mereka dikenal dengan sebutan kreditur separatis atau secured creditor yang mempunyai hak eksekusi langsung terhadap jaminan kebendaan yang diletakkan oleh debitur kepadanya untuk pelunasan piutang terhadap debitur tersebut. Meskipun demikian, apabila boedel pailit telah habis untuk memenuhi kewajiban utang pajak yang harus didahulukan, maka seluruh kreditor lainnya, termasuk kreditor separatis juga tidak akan memperoleh bagian apapun.
UUK dan PKPU memang tidak mengatur mengenai kedudukan Negara sebagai kreditor. Dalam pandangan penulis, sudahlah tepat apabila negara bukan merupakan salah satu jenis kreditor. Kedudukan negara justru adalah lebih tinggi daripada kedudukan pemegang jaminan kebendaan dan negara mempunyai kedudukan yang harus didahulukan dalam pelunasan utang Debitor. Piutang pajak bukanlah termasuk piutang yang dapat ditagih di muka Pengadilan karena piutang pajak ditagih dengan Surat Paksa yang memiliki kekuatan eksekutorial vide Pasal 7 ayat (1) UU PPSP.
Hal tersebut telah sejalan pula dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 015.K/N/1999 tanggal 14 Juli 1999 yang memutus bahwa ;
“hutang pajak yang lahir dari Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang memberi kewenangan khusus kepada pejabat pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap hutang pajak tanpa intervensi pengadilan. Terhadap tagihan hutang pajak tersebut harus diterapkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, menempatkan penyelesaian utang pajak berada di luar jalur proses kepailitan, karena mempunyai kedudukan hak istimewa penyelesaiannya.”
Selain itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 015.K/N/1999 tanggal 14 Juli 1999 tersebut diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 017K/N/2005 tanggal 15 Agustus 2005 yang memutus bahwa
“hutang pajak adalah hutang berdasarkan hukum publik dan harus dibayar lebih dahulu daripadahutang-hutang lainnya, tidak mungkin diselesaikan dalam proses PKPU.”
Oleh karena itulah dapat dipahami bila proses pelunasan utang pajak terhadap perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara khusus oleh UUK dan PKPU.
1. Contoh Kasus :
Kedudukan Negara Atas Utang Pajak PT. Artika Optima Inti
Dalam Kasus Kepailitan (Perkara Kepailitan No. 22/Pailit/2007/ PN.Niaga.Jkt.Pst)
Peraturan perpajakan telah mendudukkan negara sebagai pemegang hak mendahulu atas utang pajak. Hak mendahulu atas utang pajak ini melebihi hak-hak atas pelunasan utang lainnya. Persoalannya jika kepailitan terjadi pada perusahaan yang masih memiliki utang pajak. Contoh kasus yang terjadi dalam proses kepailitan PT Artika Optima Inti (AOI).
Dari hasil penelitian Albert Richi Aruan ditemukan bahwa pada persidangan tingkat pertama hingga upaya hukum kasasi, kedudukan Hak mendahului yang dimiliki negara tidak diprioritaskan oleh pengadilan. Namun demikian dengan adanya novum berupa Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Putusan 15 K/N/1999, Majelis hakim memenangkan tuntutan negara untuk didahulukan pelunasan utang pajaknya.
Penerapan hak mendahulu yang dimiliki negara dalam kasus utang pajak ternyata tidaklah serta merta dapat dilaksanakan apabila terjadi kepailitan terhadap perusahaan yang masih memiliki utang pajak. Penagihan utang pajak terhadap perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan. Proses pelunasan tagihan utang pajak perusahaan pailit juga tidak secara khusus diatur dalam UUK dan PKPU.

Penyelesaian Persoalan Pajak Secara Perdata
Saat ini dengan semakin sadarnya masyarakat akan hukum, ada kecenderungan untuk menggunakan pengadilan untuk menyelesaikan sengekta yang terjadi antara para pihak. Hal ini selain memiliki pengaruh positif juga menimbulkan dampak negatif, yakni perkara yang harus ditangani oleh pengadilan menumpuk sehingga penyelesaian atas suatu sengketa menjadi lama.
Selain jangka waktu yang lama dalam berproses di pengadilan, faktor biaya juga menjadi hambatan dalam penyelesaian suatu sengketa. Oleh karena itu, saat ini mulai diperkanalkan alternatif lainn untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yakni secara negoisasi, arbitrase, mediasi, dan konsiliasi.
Sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan diluar peradilan bersifat terbatas. Dalam arti, hanya dapat dipergunakan untuk bidang hukum tertentu, yakni di bidang keperdataan misalnya adalah sengketa pajak, hal ini disebabkan oleh sifar dari hukum perdata itu sendiri, yakni menyangkut hubungan hukum antara manusia yang satu dan manusia yang lainnya sehingga tidak terdapat unsur publik. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan kerugian yang hanya dialami oleh para pihak dan tidak memberikan dampak yang merugikan bagi masyarakat, tidak diperlukan campur tangan negara untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Penyelesaian diluar peradilan dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 yang mendefenisikan bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,negosisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.
            Jika dikaitkan dengan sengketa pajak, upaya hukum diluar peradilan dapat dilaksanakan karena upaya hukum diluar peradilan pajak berupa hak yang boleh digunakan untuk mengoreksi perbuatan hukum yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri atau perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh pejabat paja, dengan demikian hak wajib pajak sebagaimana ditentukan dalam upaya hukum pajak merupakan upaya hukum di luar peradilan pajak.


DAFTAR PUSTAKA
Albert Richi Aruan, Kedudukan Negara Atas Utang Pajak Pt. Artika Optima Inti Dalam Kasus Kepailitan, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Undip, Semarang, Juni 2010.
Daniel J. Flitzpatirck, Hukum Kepailitan dalam Hukum Internasional, disampaikan dalam seminar nasional kepailitan tahun 2008, USAID in ACCE Project & AKPI
H. Rochmat, Soemitro dan Dewi Kania, Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung, Refika Aditama, 2004
Judisseno, Remsky K., 1996, Perpajakan. PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Judisseno, Remsky K., 1997, Pajak dan strategi Bisnis, PT. Gramdia  Pustaka Umum, Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Penerbit: Andi, Jakarta.

Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1994

http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/11/26/tindak-pidana-dan-perdata-dalam-perpajakan Diterbitkan November 26, 2012 Rahayu Hartini,
Muhammad Djafar Saidi, Dr,S.H.,M.H., perlindungan hukum wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak,  Rajawali Pers, makassar, 2007.

Wirawan B.ilyas, dan Richard Burton ,hukum pajak (edisi revisi), Salemba Empat, Jakarta, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar