BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Peran pajak sangat penting yaitu sebagai salah
satu sumber pendapatan negara terbesar, khususnya di dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai
berbagai pengeluaran negara termasuk pengeluaran pembangunan.
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat .
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran
rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai public investmen.
Sehingga tidak mudah untuk membebankan pajak
pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak.
Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana
yang kurang. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang
diberlakukan oleh hampir seluruh Negara di dunia.
Pajak selain sebagai salah satu sumber
penerimaan Negara, juga bermanfaat sebagai alat pemerataan pendapatan dan pendorong
investasi. Namun masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pajak menyebabkan
pajak masih dianggap sebagai suatu beban, sehingga seringkali ditemukan wajib
pajak yang tidak melunasi pajak yang menjadi kewajibannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Wajib pajak sering berupaya untuk menghindari pajak
yang dikenakan kepadanya, hal ini tentunya merugikan Negara karena Negara akan
kehilangan potensi pemasukan dari sektor pajak.
Kondisi demikian membuat diperlukannya
ketegasan terhadap wajib pajak dalam pemungutan pajak dengan menerapkan
ketentuan hukum (law enforcement) sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
Adanya kekuatan hukum mengikat dalam bentuk undang-undang menjadikan pajak
memiliki sifat dasar dipaksakan yang berarti apabila wajib pajak tidak memenuhi
kewajiban pembayaran pajak, maka dapat dikenai sanksi terhadapnya. Mengenai
kedudukan Hukum pajak dalam sistem hukum Indonesia mengandung dua aspek, yakni
baik aspek hukum perdata maupun aspek hukum pidana.
B.
TINJAUAN PUSTAKA
Pajak
Sesuai dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber
penerimaan negara adalah bersumber dari sektor pajak. Definisi
pajak dikemukakan oleh Remsky K. Judisseno (1997:5) adalah
sebagai berikut: “Pajak adalah suatu kewjiban kenegaraan dan
pengapdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk
membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan
kesejahteraan dan negara”.
Sesuai dengan
Undang-Undang perpajakan yang berlaku pada saat ini menyatakan bahwa setiap
warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang telah menetap di
Indonesia selama 183 hari secara berturut-turut dan memperolah penghasilan dari
kegiatan usahanya wajib untuk melakukan kegiatan perpajakannya sesuai dengan
Undang-Undang perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya system
self-assessment yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang perpajakan,
berarti kewajiban perpajakan setiap wajib pajak, dihitung, diperhitungkan,
dibayar, dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak ke pemerintah dalam hal ini
kantor pelayanan pajak dimana wajib pajak terdaftar atau berdomisili.
Dalam pelaksanaan
Undang-Undang Perpajakan yakni Undang-Undang No.17 Tahun 2000, setiap
wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari kegiatan usahanya wajib menyetor
ke kas negara pajak atas penghasilan yang diterimanya. Besarnya kewajiban
perpajakan wajib pajak tersebut diatur dalam Undang-Undang Perpajakan dan
peraturan pemerintah.
Hukum Perdata
Kasus hukum perdata ini meliputi pengaturan mengenai orang, benda,
perikatan dan pembuktian. Pengaturan mengenai orang diantaranya adalah hukum
perkawinan. Pengaturan mengenai benda diantaranya pengaturan mengenai hak atas
suatu benda, warisan, gadai, hipotik dan lain sebagainya. Pengaturan mengenai
perikatan termasuk diantaranya adalah perjanjian kontrak, sewa menyewa, jual
beli, dan lain sebagainya sedangkan yang termasuk dalam pengaturan mengenai
pembuktian antara lain tentang sumpah dihadapan hakim, pengakuan, persangkaan
dan lewat waktu.
Hubungan Hukum Perdata dan Hukum Pajak
Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik tetapi hukum pajak
mempunyai hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling
bersangkutan. Hal ini karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan
pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan
hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan, kekayaan,
perjanjian, penyerahan, pemindahan hak karena warisan, kompensasi pembebasan
utang, dan sebagainya. Hubungan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini
mungkin sekali timbul karena banyak d pergunakannya istilah-itilah hukum
perdata dalam pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian
pengertian yang dianut oleh hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum
pajak.
Pajak Dalam Hukum Perdata
Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang mengatur hubungan antar orang-orang pribadi, dimana hukum pajak
banyak sekali sangkut pautnya, ini berarti bahwa kebanyakan hukum pajak mencari
dasar pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan
perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkup perdata seperti:
§ Pendapatan
§ Kekayaan
§ Perjanjian atau penyerahan
§ Pemindahan
hak karena warisan
§ Penerimaan
Negara
1.
BEA
dan CUKAI
Pada hakekatnya bea dan cukai termasuk pajak
tidak langsung dan merupakan pungutan pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai)
BEA
- Bea masuk yaitu dipungut atas
barang yang dimasukan kedalam daerah pabean berdasarkan harga nilai barang
tersebut atau berdasarkan tariff yang sudah ditentukan.
- Bea keluar yaitu dikenakan atas
sejumlah barang yang dikeluarkan keluar daerah pabean berdasarkan tariff
yang sudah sitentukan bagi masing-masing golongan barang, bea ini sekarang
sudah tidak dilaksanakan lagi dan sekarang diganti dengan “pajak export
tambahan”.
CUKAI
Yaitu pungutan yang dikenakan atasa
barang-barang tertetu berdasarkan tariff yang sudah ditetapkan untuk
masing-masing jenis barang tertentu.
Contoh : rokok, minuman keras, dsb.
2.
RETRIBUSI
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan
sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah secara langsung dan nyata kepada pembayar.
Contoh : retribusi parker, retribusi jalan tol,
dsb.
3.
IURAN
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan
sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan
nyata kepada kelompok atau golongan pembayar.
Contoh : iuran sampah, iuran keamanan, dsb.
“Dalam prakteknya tidak ada perbedaan yang tajam
antara pemberian jasa atau fasilitas kepada individu atau kelompok sehingga
terdapat istilah retribusi dan iuran”.
4.
SUMBANGAN
Yaitu pungutanyang tidak termasuk kedalam
retribusi dan iuran dengan demikian pungutan yang dilakukan tidak jelas nampak
ada diberikan suatu balas jasa atau fasilitas sebagai imbalannya.
Contoh ; sumbangan wajib.
Ketentuan Utang Pajak dalam KUH Perdata
KUH Perdata telah menempatkan utang pajak untuk didahulukan
daripada kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1137 sebagai berikut :
“Hak dari Kas Negara, Kantor lelang dan lain-lain badan umum yang
dibentuk Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan
jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang
khusus yang mengenai hal-hal itu”.
Dengan demikian maka menurut Pasal 1137 KUH Perdata tersebut maka
kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu yang
merujuk pada pengaturan dalam undang-undang khusus, yaitu Undang-Undang
Perpajakan.
Dilihat dari definisi utang dalam Undang-undang Kepailitan dan
penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKP) secara
luas, utang merupakan kewajiban yang dapat timbul dari perjanjian atau dari
perikatan karena undang-undang.
Sementara pemahaman pajak dari persepektif hukum menurut Soemitro
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, dimana Negara mempunyai kekuatan untuk
memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan
pemerintah.
Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut
harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Dalam Pasal 23 (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang. Jadi setiap pajak yang dipungut oleh
pemerintah harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak
yang dipungut tidak dengan undang-undang. Dalam Pasal 23 (a) UUD 1945 tersebut,
yang merupakan sumber hukum formal dari pajak, diantaranya tersirat falsafah
pajak yang mendalam.
Mengenai dasar falsafah pajak, H. Rochmat Soemitro menyatakan bahwa
pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada Pemerintah yang tidak ada
imbalannya yang berdasarkan UUD RI 1945 langsung dapat ditunjuk. Peralihan
kekayaan yang demikian itu, dalam kata-kata sehari-hari hanya dapat berupa
penggarongan, perampasan, pencopetan, atau pemberian hadiah dengan sukarela dan
tanpa paksaan. Maka supaya peralihan kekayaan dari rakyat kepada Pemerintah
tidak dikatakan sebagai perampokan/pemberian hadiah secara sukarela, maka
disyaratkan bahwa pajak, sebelum diberlakukan, harus mendapatkan persetujuan
rakyat terlebih dahulu. Lembaga perwakilan sebagai pembentuk undang-undang
merupakan representasi dari rakyat, sehingga ketika suatu rancangan
undang-undang termasuk undang-undang pajak dianggap telah disetujui rakyat jika
telah diundangkan oleh DPR.
Jadi utang pajak muncul berdasarkan undang-undang yang menimbulkan
perikatan kepada warga negara untuk melakukan pembayaran pajak . sehingga utang
pajak dapat masuk dalam lingkup utang dalam kepailitan yang luas, yaitu utang
yang timbul karena undang-undang.
2. Ketentuan Utang Pajak Perusahaan Pailit dalam perundangan
perpajakan (KUP)
UU PPSP tidak menyebutkan secara khusus mengenai pengaturan
tindakan menagih utang pajak kepada perusahaan yang pailit. Demikian pula
halnya dalam peraturan formal perpajakan yang pokok-pokoknya diatur dalam UU
KUP.
Suatu utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau
Penanggung Pajak. Dengan adanya tagihan pajak, negara mempunyai hak mendahulu
untuk tagihan pajak tersebut atas barang-barang milik Penanggung Pajak,
sebagaimana bunyi Pasal 21 ayat (1) UU KUP yakni “Negara mempunyai hak
mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.”
Adapun maksud dari adanya hak mendahulu negara ini dijelaskan lebih
lanjut dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP, yaitu untuk menetapkan
kedudukan negara sebagai Kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu atas
barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
Pelaksanaan hak mendahulu negara atas utang pajak tersebut adalah dengan
dilakukan pembayaran atas utang pajak terlebih daulu, pembayaran kepada
Kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Ketentuan tentang hak
mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
Dengan adanya perubahan pada UU KUP, khususnya Pasal 21 mengalami
penambahan ayat yaitu ayat (3a), yang menyatakan bahwa dalam hal Wajib Pajak
dinyatakan pailit, maka kurator atau orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit kepada
pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Namun demikian hak mendahulu negara telah dikecualikan untuk
didahulukan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) yang menyatakan bahwa
kedudukan utang pajak adalah mendahulu dari hak mendahulu lainnya kecuali biaya
perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan
untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau biaya perkara, yang hanya
disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mengenai Hak Kas
Negara sebagaimana disebut dalam KUH Perdata harus didahulukan, dalam
pelaksanaan hak mendahulunya diatur dalam UU KUP. Undang-undang ini memberikan
kedudukan mendahulu untuk utang pajak kecuali atas biaya perkara pelelangan
atau penyelesaian warisan.
UU KUP telah memberikan kedudukan istimewa untuk utang pajak
melebihi kedudukan semua kreditor dalam kepailitan, termasuk hak jaminan dan
juga mendahulu dari buruh dan biaya kepailitan serta kreditor konkuren. Adanya
kebijakan ini mesti ditinjau ulang karena selain telah merampas hak kreditor
pemegang hak jaminan (walaupun ketentuan Pasal 21 ayat (3a) UU KUP tidak
efektif berlaku untuk kreditor hak jaminan).
Utang Pajak tidak dapat menerapkan hak mendahulunya atas utang
dengan hak jaminan kebendaan atas dasar pertimbangan sebagai berikut :
a) Kedudukan negara sebagai kreditor preferen dan adanya hak
mendahulu atas utang pajak tidak dapat melepaskan hak jaminan yang sudah
melekat pada benda yang dijadikan obyek jaminan, sehingga kreditor pemegang hak
jaminan tetap berhak mengambil pelunasan terlebih dahulu atas benda tersebut.
b) Hak untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan oleh kreditor
diakui oleh UUK dan PKPU, kreditor dapat melakukan eksekusi dan dia tidak
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan, baik UUK dan PKPU maupun
UU KUP.
Terhadap ketentuan Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, ketika eksekusi atas
harta debitor yang dibebani oleh jaminan, eksekusi tersebut dilakukan oleh
Kreditor itu sendiri, bukan oleh Kurator. Bahkan ketika penjualan harta debitor
yang dibebani hak jaminan dilakukan Kurator maka Kreditor tetap berhak atas
pelunasan utangnya, dengan dibebani biaya kepailitan.
Lalu bagaimana kedudukan hak istimewa utang pajak dibanding dengan
utang kreditor preferen lainnya, yaitu buruh dan biaya kepailitan dan imbalan
kurator?
Di banyak negara selama bertahun-tahun negara diberikan hak yang
istimewa dalam hal kepailitan, namun selama lebih dari dua puluh tahun beberapa
yurisdiksi telah mempertanyakan hak istimewa tersebut, dan meneliti secara
mendalam biaya yang ditimbulkan dan manfaat serta pijakan moral dari kebijakan
tersebut128.
Adanya kebijakan hak mendahulu dari seluruh harta debitor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 UU KUP, dan terkait dengan adanya kreditor lain,
seperti buruh dan biaya kepailitan maka perlu dipertimbangkan mengenai hal-hal
sebagai berikut:
a. Kreditor separatis jelas tidak akan mau melepaskan hak jaminan
kebendaan yang melekat pada harta benda debitor untuk diambil pelunasan
terlebih dahulu untuk utang pajak, selain itu berbagai instrumen dalam hak
jaminan kebendaan telah dibuatu untuk kepastian hukum pelunasan utang kepada
pemegang hak jaminan kebendaan;
b. Jumlah dana yang didapat dari pelunasan utang pajak dalam
kepailitan sangatlah kecil dibanding pendapatan lainnya. Selain itu para
debitor pailit dapat saja dalam keadaan tidak mampu membayar termasuk utang
pajak. Lebih baik penagihan pajak diutamakan pada wajib pajak lain yang mampu
membayar pajak .
c. Kreditor enggan menyelesaikan piutangnya melalui kepailitan
karena adanya kebijakan mendahulu untuk utang pajak, yang mana jumlahnya dapat
signifikan mengurangi pembayaran kepada kreditor non separatis. Dalam keadaan harta
pailit tidak cukup untuk membayar seluruh utang, maka jika hak mendahulu untuk
utang pajak tetap dilaksanakan, buruh dan kreditor konkuren tidak akan
mendapatkan sepeserpun rupiah, sebagaimana hal-hal yang perlu dipertimbangkan
yang telah dipaparkan dalam Bab terdahulu pada bagian utang upah pekerja.
3. Ketentuan Utang Pajak Perusahaan Pailit dalam UUK dan PKPU
Proses pelunasan tagihan utang pajak perusahaan dalam proses pailit
tidak diatur secara tegas dalam UUK dan PKPU. Hal ini dimungkinkan karena beberapa
alasan. Berdasarkan uraian penjelasannya, UUK dan PKPU diterbitkan untuk
memenuhi kebutuhan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara
adil, cepat, adil, terbuka dan efektif. Perubahan dilakukan oleh karena
Undang-undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordening Staatsblad 1905:217
juncto Staatsblad 1906:348) yang merupakan peraturan perundangundangan
peninggalan pemerintah Hindia Belanda sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utangpiutang.
Namun demikian, UUK dan PKPU hanya terbatas mengatur tentang
aspekaspek hukum bagi kreditor dan debitor dalam perkara kepailitan. Dari bunyi
pasal-pasal yang ada, UUK dan PKPU menguraikan secara jelas pembagian kreditor
berdasarkan tingkatan hak yang dimilikinya. Dari beberapa jenis tingkatan hak
kreditur yang dikenal di Indonesia, maka kreditur yang memegang jaminan
kebendaan (yaitu: jaminan berupa Hak Tanggungan, Gadai dan Fidusia) diakui
secara tegas sebagai kreditur yang mempunyai hak preferensi eksklusif terhadap
jaminan kebendaan yang dimilikinya. Oleh karena itulah, mereka dikenal dengan
sebutan kreditur separatis atau secured creditor yang mempunyai hak eksekusi
langsung terhadap jaminan kebendaan yang diletakkan oleh debitur kepadanya
untuk pelunasan piutang terhadap debitur tersebut. Meskipun demikian, apabila
boedel pailit telah habis untuk memenuhi kewajiban utang pajak yang harus
didahulukan, maka seluruh kreditor lainnya, termasuk kreditor separatis juga
tidak akan memperoleh bagian apapun.
UUK dan PKPU memang tidak mengatur mengenai kedudukan Negara
sebagai kreditor. Dalam pandangan penulis, sudahlah tepat apabila negara bukan
merupakan salah satu jenis kreditor. Kedudukan negara justru adalah lebih
tinggi daripada kedudukan pemegang jaminan kebendaan dan negara mempunyai
kedudukan yang harus didahulukan dalam pelunasan utang Debitor. Piutang pajak
bukanlah termasuk piutang yang dapat ditagih di muka Pengadilan karena piutang
pajak ditagih dengan Surat Paksa yang memiliki kekuatan eksekutorial vide Pasal
7 ayat (1) UU PPSP.
Hal tersebut telah sejalan pula dengan putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 015.K/N/1999 tanggal 14 Juli 1999 yang memutus bahwa ;
“hutang pajak yang lahir dari Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 juncto
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang memberi kewenangan khusus kepada pejabat
pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap hutang pajak tanpa intervensi
pengadilan. Terhadap tagihan hutang pajak tersebut harus diterapkan ketentuan
Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, menempatkan penyelesaian
utang pajak berada di luar jalur proses kepailitan, karena mempunyai kedudukan
hak istimewa penyelesaiannya.”
Selain itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 015.K/N/1999 tanggal 14
Juli 1999 tersebut diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor
017K/N/2005 tanggal 15 Agustus 2005 yang memutus bahwa
“hutang pajak adalah hutang berdasarkan hukum publik dan harus
dibayar lebih dahulu daripadahutang-hutang lainnya, tidak mungkin diselesaikan
dalam proses PKPU.”
Oleh karena itulah dapat dipahami bila proses pelunasan utang pajak
terhadap perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara khusus oleh UUK dan
PKPU.
1. Contoh Kasus :
Kedudukan Negara Atas Utang Pajak PT. Artika Optima Inti
Dalam Kasus Kepailitan (Perkara Kepailitan No. 22/Pailit/2007/
PN.Niaga.Jkt.Pst)
Peraturan perpajakan telah mendudukkan negara sebagai pemegang hak
mendahulu atas utang pajak. Hak mendahulu atas utang pajak ini melebihi hak-hak
atas pelunasan utang lainnya. Persoalannya jika kepailitan terjadi pada
perusahaan yang masih memiliki utang pajak. Contoh kasus yang terjadi dalam
proses kepailitan PT Artika Optima Inti (AOI).
Dari hasil penelitian Albert Richi Aruan ditemukan bahwa pada
persidangan tingkat pertama hingga upaya hukum kasasi, kedudukan Hak mendahului
yang dimiliki negara tidak diprioritaskan oleh pengadilan. Namun demikian
dengan adanya novum berupa Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Putusan 15
K/N/1999, Majelis hakim memenangkan tuntutan negara untuk didahulukan pelunasan
utang pajaknya.
Penerapan hak mendahulu yang dimiliki negara dalam kasus utang
pajak ternyata tidaklah serta merta dapat dilaksanakan apabila terjadi
kepailitan terhadap perusahaan yang masih memiliki utang pajak. Penagihan utang
pajak terhadap perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara khusus dalam
peraturan perpajakan. Proses pelunasan tagihan utang pajak perusahaan pailit
juga tidak secara khusus diatur dalam UUK dan PKPU.
Penyelesaian Persoalan Pajak Secara Perdata
Saat ini dengan semakin
sadarnya masyarakat akan hukum, ada kecenderungan untuk menggunakan pengadilan
untuk menyelesaikan sengekta yang terjadi antara para pihak. Hal ini selain
memiliki pengaruh positif juga menimbulkan dampak negatif, yakni perkara yang
harus ditangani oleh pengadilan menumpuk sehingga penyelesaian atas suatu
sengketa menjadi lama.
Selain jangka waktu
yang lama dalam berproses di pengadilan, faktor biaya juga menjadi hambatan
dalam penyelesaian suatu sengketa. Oleh karena itu, saat ini mulai
diperkanalkan alternatif lainn untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
yakni secara negoisasi, arbitrase, mediasi, dan konsiliasi.
Sengketa-sengketa yang
dapat diselesaikan diluar peradilan bersifat terbatas. Dalam arti, hanya dapat
dipergunakan untuk bidang hukum tertentu, yakni di bidang keperdataan misalnya
adalah sengketa pajak, hal ini disebabkan oleh sifar dari hukum perdata itu
sendiri, yakni menyangkut hubungan hukum antara manusia yang satu dan manusia
yang lainnya sehingga tidak terdapat unsur publik. Oleh karena itu, apabila
terjadi suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan kerugian yang hanya
dialami oleh para pihak dan tidak memberikan dampak yang merugikan bagi
masyarakat, tidak diperlukan campur tangan negara untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.
Penyelesaian diluar
peradilan dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan diatur dalam
pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 yang mendefenisikan bahwa alternatif
penyelesaian sengketa adalah “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi,negosisasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli”.
Jika dikaitkan dengan sengketa pajak, upaya hukum diluar peradilan dapat dilaksanakan
karena upaya hukum diluar peradilan pajak berupa hak yang boleh digunakan untuk
mengoreksi perbuatan hukum yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri atau
perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh pejabat paja, dengan demikian hak
wajib pajak sebagaimana ditentukan dalam upaya hukum pajak merupakan upaya
hukum di luar peradilan pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Albert Richi Aruan, Kedudukan Negara Atas Utang Pajak Pt. Artika Optima
Inti Dalam Kasus Kepailitan, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Undip, Semarang, Juni
2010.
Daniel J. Flitzpatirck, Hukum Kepailitan dalam Hukum Internasional,
disampaikan dalam seminar nasional kepailitan tahun 2008, USAID in ACCE Project
& AKPI
H. Rochmat, Soemitro dan Dewi Kania, Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan,
Bandung, Refika Aditama, 2004
Judisseno,
Remsky K., 1996, Perpajakan. PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
Judisseno, Remsky K., 1997, Pajak dan strategi Bisnis, PT. Gramdia Pustaka Umum, Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Penerbit: Andi, Jakarta.
Judisseno, Remsky K., 1997, Pajak dan strategi Bisnis, PT. Gramdia Pustaka Umum, Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Penerbit: Andi, Jakarta.
Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1994
http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/11/26/tindak-pidana-dan-perdata-dalam-perpajakan
Diterbitkan November 26, 2012 Rahayu Hartini,
Muhammad Djafar Saidi, Dr,S.H.,M.H., perlindungan hukum wajib pajak dalam
penyelesaian sengketa pajak, Rajawali Pers, makassar, 2007.
Wirawan B.ilyas, dan Richard Burton ,hukum pajak (edisi revisi), Salemba
Empat, Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar