BAB 1 PENDAHULUAN
Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab disebut dengan al-Bai’u
atau tijarah, yang artinya menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Adapun menurut syara’ jual beli adalah Pemilikan harta benda dengan jalan tukar
menukar yang sesuai dengan aturan syara’. Jual beli disebut juga perdagangan
atau perniagaan.[1]
Allah swt menegaskan bahwa jual beli
dihalalkan dan melarang untuk berbuat riba. Hal ini sesuai denga firman Allah dalam
Al-Qur’an :
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ
يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ
مِّن رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya[2]
Hadist Ibnu Majah Jus 2 Kitabu Tijaroh Bab Larangan
Sumpah dalam Jual Beli no. 2198, 2199, 2200
بَاب مَا جَاءَ فِي كَرَاهِيَةِ
الْأَيْمَانِ فِي الشِّرَاءِ وَالْبَيْع
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ
بْنُ مُحَمَّدٍ وَأَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ
عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ؛ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلَاةِ يَمْنَعُهُ
ابْنَ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا سِلْعَةً بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ
بِاللَّهِ لَأَخَذَهَا بِكَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ
وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ
مِنْهَا وَفَى لَهُ وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ لَهُ
‘Tiga golongan tidak disapa oleh Allah Azza
wa jalla pada hari kiamat, dan tidak akan dilihat, dan tidak aka disucikan, dan
bagi mereka siksa yang pedih: (1)Laki-laki yang memiliki kelebihan air di
pekarangannya namun mengabaikan (tidak mau berbagi) pada orang yang lewat (Ibnu
sabil); dan (2)laki-laki yang berjual-beli dengan laki-laki lain selepas ashar
maka bersumpah demi Allah niscaya aku mendapatkan dagangan begini dan begini
maka (pembeli) membenarkannya dan penjual tersebut tidak demikian (tidak benar
sumpahnya); dan (3) laki-laki yang bai’at pada seorang imam (namun) ia tidak
baiat kecuali karena tujuan dunia, jika sang imam mengabulkan kehendaknya ia
mau menetapi namun jika sang imam tidak mengabulkan dari maksudnya ia tidak mau
menetapi/mentaati pada imam.’
Bersumpah dalam jual beli itu makruh secara mutlak. Baik orang yang
bersumpah itu jujur atau bohong. Kalau ia berbohong dengan sumpahnya, maka
sumpah tersebut makruh secara makruh tahrim (hukumnya haram). Dosanya lebih
besar dan azabnya lebih keras. Ia termasuk dalam sumpah palsu. Sekalipun ia
menjadikan dagangan laris, namun ia melenyapkan keberkahan penjualan dan keuntungan.
Hal tersebut didasarkan oleh riwayat Abu Huroiroh rodhiyallaahu’anhu, ia
berkata: aku mendengar Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bersabda:
وَ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ
فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ
1721. Dari abu Qatadah ra, bahwasanya dia mendengar Rasulullah
sawbersabda:”Jauhilah olehmu banyak bersumpah dalam jual
beli.sesungguhnyasumpah itu membuat laris tetapi kemudian ia menghapus berkah
(HR Muslim)
اِنَّ اَبُاهُرَيرَهَ رَصِيَ الله ءَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ الله ضَلَى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الحَلِفُ مُنَفَّقَةَ
لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةً لِلْبَرَكَة
Sesungguhnya Abu Hurairah Ra berkata : saya telah mendengar
Rasulullah saw bersabda : Sumpah bermanfaat bagi barang (laku terjual), tetapi
menghilangkan berkah (H.R Muttafaq ‘alaih, Abu Dawud, al-Nasaiy dan Ahmad) [3]
Penjelasan Kosa kata
مُنَفَّقَةَ : Berpotensi melariskan
لِلسِّلْعَةِ
: Barang Dagangan
مُمْحِقَةً
لِلْبَرَكَة : Menghilangkan berkah dan perkembangan
Penjelasan Hadis:
·
Anjuran
meninggalkan sumpah dalam berjual beli karena perbuatan tersebut mengandung
banyak mudharat (bahaya) antara lain :
a) Menjadikan Asma Allah Ta’ala sebagai alat untuk melariskan barang
dagangan serta meraup harta dunia yang akan musnah dan tidak abadi. Perbuatan
ini merupakan bentuk penghinaan terhadap Asma’ Allah Ta’ala.
b) Banyak bersumpah berpotensi menipu pembeli, atau mendatangkan masalah,
sedangkan dia sendiri tidak menyadarinya.
·
Bersumpah
dengan Asma’ Allah dalam jual beli, meskipus seorang yang jujur, hukumnya
makruh. Jika da berbohong, maka sumpahnya adalah sumpah palsu. Kita memohon
agar diselamatkan oleh Allah.
·
Bersumpah
dengan menyebut nama Allah dalam jual beli terkadang dapat melariskan dagangan
dan menambah jumlah penjualan, tetapi ia akan menghapus keberkahan dibalik
keuntungan tersebuit.
·
Keberkahan
sesuatu bukan karena banyaknya, terkenalnya, dan lakunya, melainkan karena
faedah dan manfaatnya.[4]
Hendaknya seorang memilih yang paling aman untuk kesucian agamanya yaitu menjauhkan diri dari banyak bersumpah dalam jual beli walaupun ia jujur. Dan hendaknya ia mengagungkan Rabb-Nya, yaitu tidak bersumpah dengan nama Allah, kecuali pada saat dibutuhkan menurut syariat, sehingga orang-orang membeli dagangannya tanpa ia harus bersumpah sebab rezeki datangnya dari Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu.[5]
Manusia dalam jual beli selalu condong
untuk memperoleh harga murah jika membeli dan memperoleh harga mahal jika
menjual.hal ini sudah menjadi kodrat manusia. Namun di pihak lain manusia juga
di beri kebebasan dalam beramal dan bermuamalah dengan baik dan lentur pada
sesama.nah apabila dua hal ini di kerjakan manusia denagn kadar yang dapat di
tolelir maka dia adalah manusia yang sempurna,dan apabila kedu-duanya melewati
batas maka dia akan disebut muqtir (terlalu perhitungan dan sangat irit) dan
juga bisa di sebut musrif (terlalu berhambur-hanburan) dan dua sifat ini sangat
tercela dalam kehidupan beragama dan bersosial. Begitu juga manusia dalam
bermuamalah dengan sesama, haruslah menjadi manusia yang sempurna dalam artian
tidak merugi dan juga tidak membahayakan para pembeli.adapun cara pematokan
harga perindividu dari para penjual ,apakah dia boleh memasang harga seenaknya
ataukah harus mengikuti harga umum .
عَنْ
آبِيْ هُرَيْرَة رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا تَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ وَلَا يَبع بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْع بَعْضٍ وَلَا
تَنَاجَشُوا وَلَا يَبعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تُصَرُوا الْغَنَمَ وَمَنْ ابَتَّاعَهَا
فَهُوَ بِغَيْرِ النظَرَيْنِ بَعْدَ اَنْ يَحْنَلِبَهَا اِنْ رَضِيَهَا اَمْسَكَهَا
وَاِنْ سَحِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مَنْ تَمْرٍ
Dari Abu
Hurairah Ra sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : janganlah kalian mencegat
barang-barang dagangan yang didatangkan, dan jangan sebagian diantara kamu
membeli sesuatu yang sedang ditawar orang lain, janganlah kalian mempermainkan
harga, jangan orang kota menjual barang bagi orang dusun, jangan mengikat
putinga susu kambing (agar kelihatan penuh susunya). Barang siapa yang membeli
maka dia punya hak khiyar untuk melihat saat yang tepat memerah kambing. Jiaka
dia suka maka dia dapat menahannya, dan jika dia tidak suka maka dapat
mengembalikannya beserta satu sha’ gandum (HR muttafaa ‘alaih, Abu Dawud,
Al-Turmuzi, Al-Nasaiy, Ibn Majah)
Penjelasan Kosa Kata
لَا
تَلَقَّوْا :
Janganlah kalian menghadang
الرُّكْبَانَ : Sekelompok pedagang (khafilah) yang membawa
barang dengan menggunakan kendaraan
وَلَا
يَبع : dan
janganlah menjualحَاضِرٌ : Penduduk kota
لِبَادٍ : Kepada penduduk desa (orang dusun)[6]
Penjelasan Hadis
Upaya pencegatan khafilah biasanya dilakuka oleh para makelar.
Makelar atau Al-samsarah artinya perantara perdagangan, yaitu
orang-orang yang menjualkan barang-barang atau orang yang mencari pembeli.
Pencegata itu menurut al-Hadawiyah dan Ulama Syafi’iyah dilarang apabila
terjadi di luar kota. Sementara menurut ulama Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq bahwa
pencegatan khafilah haram hukumnya sekalipun sampai di pasar. Sedangkan menurut
Abu Hanifah al-Auza’i bahwa adanya pencegatan oleh makelar boleh hukumnya
apabila tidak akan memberikan kesulitan atau dampak negatif bagi manusia, dan
hukumnya makruh apabila pencegatan itu menimbulkan dampak negatif.
عَنْ
عَبْدِ الله بِنْ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا أنَّ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
Dari Abdullah
bin Umar Ra sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Jangan sebagian kamu menjual
(dibawah harga)yang dijual saudaranya (HR muttafaa ‘alaih, Abu Dawud,
Al-Nasaiy, Ibn Majah, Ahmad, Malik, Al-Darimi)
Penjelasan
Hadis
Ditinjau dari asal masalah dan penggambarannya, manusia dibolehkan
untuk berbeda dalam harga. Namun bila saya atau si Zaid dari manusia memurahkan
harga dengan maksud membahayakan orang lain, maka di sini kita berkata bahwa
hal tersebut adalah haram. Karena ia telah menyelisihi suatu nash yang telah
tsabit (tetap, syah) lagi shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bahwa beliau bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak ada bahaya bagi diri sendiri, dan tidak ada pembahayaan bagi orang lain.
Tidak ada bahaya bagi diri sendiri, dan tidak ada pembahayaan bagi orang lain.
Selama masing-masing pedagang menjual barang miliknya dengan harga
yang ia suka, maka tidak ada alasan untuk melarangnya. Kalau
dia mengerjakannya dengan maksud ini maka itu adalah haram. Namun kalau ia
melakukannya dan tidak memaksudkan sesuatu tertentu, ia hanya ingin untuk
membersihkan barang yang ada di gudangnya –misalnya- dan menutup
perdagangannya, maka kadang orang yang seperti ini terpaksa untuk menurunkan
barangnya sehingga barangnya laku kemudian dia menutup (tokonya). Kita tidak
berkata di sini bahwa ia telah melakukan suatu hal yang diharamkan, bahkan
pembahayaan tidak terjadi. Apabila dia membahayakan yang lainnya, maka jadilah
hal tersebut sebagai perkara yang haram.[7]
3. Larangan Menimbun Barang Pokok
Pengertian Ihtikar
Di dalam kitab “Fiqh Sunnah” karangan Sayyid Sabiq bahwasanya ia mendefinisikan ihtikar sebagai berikut:
Di dalam kitab “Fiqh Sunnah” karangan Sayyid Sabiq bahwasanya ia mendefinisikan ihtikar sebagai berikut:
الاِحْتِكَارُ هُوَ شِرَاءُ الشَّيْءِ وَحَبْسُهُ
لِيَقِلَّ بَيْنَ النَّاسِ فَيَغَلُّ سِعْرُهُ وَيُصِيْبُهُمْ بِسَبَبِ ذلِكَ
الضَّرَرِ
Artinya:
Ihtikar adalah menyembunyikan sesuatu (barang) kemudian supaya barang tersebut sedikit di kalangan manusia maka harganya menjadi tinggi dan menimpa mereka karena kemudlaratan itu.[8]
وَ ءَنْ مَعْمَرَبْنِ عَبْدِ الله عَنْ رَسُوْلُ الله صَلى الله عَلَيْهِ وَسلمَ قَالَ لَا يَحْتَكِرُ اِلًا خَاطِئٍ (رواه مسلم)
Artinya :
Dari Ma’mar bin Abdillah yang diterima dari Rasuullah saw, beliau
bersabda:” tidaklah menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa” (HR Muslim)
Arti kata
Penjelasan Hadis
Ikhtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang.
Lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar sedangkan
masyarakat dirugikan.Sebagian ulama mempersempit larangan menimbun. Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat larangan menimbun hanya bagi bahan pangan
sebab merupakan bahan pokok rakyat.
Adapula ulama yang memeperluas larangan menimbun bagi segala macam barang,
sebab ikhtikar mengakibatkan naiknya harga dan ini sikap yang tidak adil.
Tetapi ada yang berpendapat, kalau hanya menimbun hasil panen sendiri atau
barang hasil produksi sendiri maka tidak ada halangan
Menimbun yang diharamkan, menurut kebanyakan ahli fiqih ialah bila memenuhi
tiga kriteria:
§ Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk
masa satu tahu penuh.
§ Menimbu untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan
kebutuha rakyat mendesak baru dijual
§ Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain
lain.[10]
Hukum ikhtikar
Ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan oleh syara’ dan sangat dilarang karena ia menimbun makanan pokok, berakhlak yang tercela, serta menyulitkan manusia. Di antara hadits-hadits yang melarang perbuatan ihtikar adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi dan Muslim:
رَوَى أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِيْذِيْ وَمُسْلِمٌ عَنْ
مَعْمَرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسََّلَمَ قَالَ: مَنِ
احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Artinya:
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dan Muslim, yang diterima dari Ma’mar, bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang menimbun (makanan pokok), maka dia itu berdosa.[11]
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَيَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ. (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ma’mar bin Abdillah, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang menimbun (makanan pokok) melainkan ia berdosa.
Penjelasan hadis
Hadits di atas memperkuat hadits yang sebelumnya, bahwasanya orang yang menimbun (makanan pokok) maka dia telah berdosa kepada Allah swt.[12]
Menurut Madzhab Jumhur dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah dan selainyya, bahwa penimbunan barang hukumnya haram, berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadlaratan bagi manusia. Tapi, menurut pendapat fuqaha, di kalangan madzhab Hanafiyah, bahwa penimbunan barang dagangan hukumnya makruh tahrim saja, dengan pertimbangan bahwa penimbunan tersebut diperbolehkan jika demi kemaslahatan.
Hadits di atas memperkuat hadits yang sebelumnya, bahwasanya orang yang menimbun (makanan pokok) maka dia telah berdosa kepada Allah swt.[12]
Menurut Madzhab Jumhur dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah dan selainyya, bahwa penimbunan barang hukumnya haram, berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadlaratan bagi manusia. Tapi, menurut pendapat fuqaha, di kalangan madzhab Hanafiyah, bahwa penimbunan barang dagangan hukumnya makruh tahrim saja, dengan pertimbangan bahwa penimbunan tersebut diperbolehkan jika demi kemaslahatan.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Haki, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar
رَىَو أَحْمَدُ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَالْبَزَّارَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ احْتَكَرَ الطَّعَامَ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً فَقَدْ بَرِئَ مِنَ اللهِ وَبَرِئَ اللهُ مِنْهُ
Artinya:
Telah meriwayatkan Ahmad,m Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda, “Barang siapa yang menimbun barang pangan (makanan pokok) selama empat puluh hari, maka ia sungguh telah terlepas dari Allah dan Allah pun lepas darinya.
Penjelasan hadis
Maksud hadits di atas adalah bahwasanya penimbun itu telah keluar dari kontrol Allah swt. Jadi, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.[13]
Maksud hadits di atas adalah bahwasanya penimbun itu telah keluar dari kontrol Allah swt. Jadi, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.[13]
Adapun menimbun barang yang dikoordinasikan oleh pemerintah atau
individu dengan maksud untuk persiapan mengahdapi musim paceklik, dan nantinya
akan dijual dengan harga yang wajar atau dibagikan secara Cuma-Cuma tentu saja
diperbolehkan.
Dalam sejarah, nabi yusuf pernah menimbun barang dalam jumlah yang
sangat besar berdasarkan pada mimpi raja yang ia ta’bikan bahwa negri itu akan
mengalami musim kemarau sangat panjang. Ketika mimpi tersebut terjadi, penduduk
negeri berdatangan untuk membeli barang yang pengelolaanya dipercayakan kepada
Nabi Yusuf.
Dalam islam yang menimbun barang, terutama makanan pokok untuk
dijual dengan harga tinggi pada waktu orang lain sangat membutuhkanya adalah
perbuatan dosa. Akan tetapi, kalau menimbun barang demi kemaslahatan penduduk
dalam rangka menyiapkan musim paceklik tidak termasuk berbuat dosa.
Bab 3 Penutup
Kesimpulan
¨
jual beli adalah
Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan
syara’. Jual beli disebut juga perdagangan atau perniagaan
¨
Bersumpah dalam jual
beli itu makruh secara mutlak. Baik orang yang bersumpah itu jujur atau bohong.
Kalau ia berbohong dengan sumpahnya, maka sumpah tersebut makruh secara makruh
tahrim (hukumnya haram). Dosanya lebih besar dan azabnya lebih keras. Ia
termasuk dalam sumpah palsu. Sekalipun ia menjadikan dagangan laris, namun ia
melenyapkan keberkahan penjualan dan keuntungan
¨ manusia dalam bermuamalah dengan sesama haruslah
menjadi manusia yang sempurna dalam artian tidak merugi dan juga tidak
membahayakan para pembeli.adapun cara pematokan harga perindividu dari para
penjual ,apakah dia boleh memasang harga seenaknya ataukah harus mengikuti
harga umum.
¨
Ikhtikar artinya
menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang. Lalu harganya naik.
Yang menimbun memperoleh keuntungan besar sedangkan masyarakat dirugikan
¨
Dalam islam yang
menimbun barang, terutama makanan pokok untuk dijual dengan harga tinggi pada
waktu orang lain sangat membutuhkanya adalah perbuatan dosa. Akan tetapi, kalau
menimbun barang demi kemaslahatan penduduk dalam rangka menyiapkan musim
paceklik tidak termasuk berbuat dosa.
Saran
DAFTAR
pustaka
Bariyah, Oneng Nurul. 2008. Materi Hadis. Jakarta : Kalam Mulia.
Basyarahil , Aziz Salim. 1992. 22 Masalah Agama. Jakarta:
Gema Insani Press,
Al-Hilali, Abu Usamah bin Salim ’Ied.
2005. Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadish Shaalihin. terj M Abdul
Ghoffar . Jakarta:Pustaka Imam.
Wahyudin, Udin dkk. 2006. Fikih.
Jakarta : PT Grafindo Media Pratama.
Sumber internet :
http://kangya2t.blogspot.com
[1] Udin
wahyudin dkk. Fikih (Jakarta:PT Grafindo Media Pratama, 2006). h. 50.
[2]
Al-Qur’an. Al-baqarah (2) : 275
[3] Abu
Usamah Salim bin ’Ied Al-Hilali. Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadish
Shaalihin. terj. M. Abdul Ghoffar
(Jakarta:Pustaka Iman. 2005). h. 355
[4] Ibid. h.
356.
[5]
Al-Qur’an. An-Nisa (4) :29.
[6] Oneng
Nurul Bariyah. Materi Hadis (Jakarta : Kalam Mulia. 2008). h. 139.
[7] Sumber: www.radiomadufm.com
[8] Fiqh
Sunnah, Juz 3:117
[9] Op.cit.
h. 141-142.
[10]Aziz
Salim Basyarahil. 22 Masalah Agama. (Jakarta: Gema Insani Press, 1992)
h. 56-58.
[11] Fiqh
Sunnah. op.cit.
[12]
Mulughul Marah. Juz II
[13] Yayat. Larangan
Menimbun Barang Pokok. http://kangya2t.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar