Terdiri ada beberapa teori
ketenagakerjaan. Teori-teori ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
Teori
Klasik Adam Smith
Menurut Mulyadi (2003), teori klasik
menganggap bahwa manusialah sebagai faktor produksi utama yang menentukan
kemakmuran bangsa-bangsa. Alasannya, alam (tanah) tidak ada artinya kalau tidak
ada sumber daya manusia yang pandai mengolahnya sehingga bermanfaat bagi
kehidupan. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith (1729-1790) juga melihat bahwa
alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula pertumbuhan ekonomi.
Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai dibutuhkan untuk
menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi sumber daya manusia yang
efektif merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi.
Teori
Malthus
Sesudah Adam Smith, Thomas Robert
Malthus (1766-1834) dianggap sebagai pemikir klasik yang sangat berjasa dalam
pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi. Buku Malthus yang dikenal paling luas
adalah Principles of Population. Menurut Mulyadi (2003), dari buku tersebut
akan dilihat bahwa meskipun Malthus termasuk salah seorang pengikut Adam Smith,
tidak semua pemikirannya sejalan dengan pemikiran Smith. Disatu pihak Smith
optimis bahwa kesejahteraan umat manusia akan selalu meningkat sebagai dampak
positif dari pembagian kerja dan spesialisasi. Sebaliknya, Malthus justru
pesimis tentang masa depan umat manusia. Kenyataan bahwa tanah sebagai salah
satu faktor produksi utama tetap jumlahnya. Dalam banyak hal justru luas tanah
untuk pertanian berkurang karena sebagian digunakan untuk membangun perumahan,
pabrik-pabrik dan bangunan lain serta pembuatan jalan. Menurut Malthus manusia
berkembang jauh labih cepat dibandingkan dengan produksi hasil-hasil pertanian
untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Malthus tidak percaya bahwa teknologi
mampu berkembang lebih cepat dari jumlah penduduk sehingga perlu dilakukan
pembatasan dalam jumlah penduduk. Pembatasan ini disebut Malthus sebagai
pembatasan moral.
Teori
Keynes
Kaum klasik percaya bahwa perekonomian
yang dilandaskan pada kekuatan mekanisme pasar akan selalu menuju keseimbangan
(equilibrium). Dalam posisi keseimbangan semua sumber daya, termasuk tenaga
kerja, akan digunakan secara penuh (full-employed). Dengan demikian di bawah
sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar tidak ada pengangguran. Kalau tidak
ada yang bekerja, daripada tidak memperoleh pendapatan sama sekali, maka mereka
bersedia bekerja dengan tingkat upah yang lebih rendah. Kesediaan untuk bekerja
dengan tingkat upah lebih rendah ini akan menarik perusahaan untuk
memperkerjakan mereka lebih banyak.
Kritikan Jhon Maynard Keynes
(1883-1946) terhadap sistem klasik salah satunya adalah tentang pendapatnya
yang mengatakan bahwa tidak ada mekanisme penyesuaian (adjustment) otomatis yang
menjamin bahwa perekonomian akan mencapai keseimbangan pada tingkat penggunaan
kerja penuh. Dalam kenyataan pasar tenaga kerja tidak bekerja sesuai dengan
pandangan klasik di atas. Di manapun para pekerja mempunyai semacam serikat
kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan pekerja dari
penurunan tingkat upah. Kalaupun tingkat upah diturunkan maka boleh jadi
tingkat pendapatan masyarakat akan turun. Turunnya pendapatan sebagian anggota
masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya
akan menyebabkan konsumsi secara keseluruhan akan berkurang. Berkurangnya daya
beli masyarakat akan mendorong turunnya harga-harga.
Kalau harga-harga turun, maka kurva
nilai produktivitas marjinal tenaga kerja (marginal value of productivity of
labor), yang dijadikan sebagai patokan oleh pengusaha dalam memperkerjakan
tenaga kerja akan turun. Jika penurunan dalam harga-harga tidak begitu besar,
maka kurva nilai produktivitasnya hanya turun sedikit. Meskipun demikian jumlah
tenaga kerja yang bertambah tetap saja lebih kecil dari jumlah tenaga kerja
yang ditawarkan. Lebih parah lagi kalau harga-harga turun drastis maka kurva
nilai produktivitas marginal dari tenaga kerja juga turun drastis dimana jumlah
tenaga kerja yang tertampung menjadi semakin kecil dan pengangguran menjadi
semakin bertambah luas (Mulyadi, 2003).
Teori
Harrod-Domar
Teori Harrod-Domar dikenal sebagai
teori pertumbuhan. Menurut teori ini dalam Mulyadi (2003), investasi tidak
hanya menciptakan permintaan, tetapi juga memperbesar kapasitas produksi. Peran
modal fisik di dalam model pertumbuhan sangat penting, akan tetapi kapasitas
produksi hanya dapat meningkat bila sumber daya lain (modal fisik) membesar. Di
samping itu dalam model pertumbuhan, jumlah penduduk yang besar tidak
mengurangi pendapatan per kapita asalkan modal fisiknya meningkat. Model yang
sama juga dikemukakan oleh model Solow di mana dalam model ini dipakai suatu
fungsi produksi Cobb-Douglas. Angkatan kerja diasumsikan tumbuh secara
geometris dan full employment selalu tercapai. Tetapi, dalam model ini pekerja
sudah diperluaskan secara jelas sebagai salah satu faktor produksi, dan bukan
sekedar pembagi (untuk memperoleh output pekerja). Dalam model ini juga dilihat
substitusi antara modal fisik dan pekerja.
Teori
Ester Boserup
Boserup berpendapat bahwa pertumbuhan
penduduk justru menyebabkan dipakainya sistem pertanian yang lebih intensif
disuatu masyarakat dan meningkatnya output di sektor pertanian. Boserup juga
berpendapat bahwa pertambahan penduduk berakibat dipilihnya sistem teknologi
pertanian pada tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, inovasi
(teknologi) ada lebih dahulu. Inovasi itu hanya menguntungkan bila jumlah
penduduk lebih banyak. Inovasi menurut Boserup dapat meningkatkan output
pekerja, tetapi hanya dilakukan bila jumlah pekerjanya banyak. Pertumbuhan
penduduk justru mendorong diterapkannya suatu inovasi (teknologi) baru
(Mulyadi, 2003).
Dari keseluruhan teori tenaga kerja dan
pertumbuhan yang mendominasi sebagian besar teori-teori pembangunan pada tahun
1950-an dan 1960-an dan pada awal tahun 1980-an dikenal bentuk aliran ekonomi
sisi penawaran atau supply-side economics, yang memfokuskan pada
kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan output nasional melalui akumulasi modal.
Karena model ini menghubungkan tingkat penyediaan kesempatan kerja dengan
tingkat pertumbuhan GNP, artinya dengan memaksimumkan penyerapan tenaga kerja,
untuk memaksimumkan pertumbuhan GNP dan kesempatan kerja dengan cara
memaksimumkan tingkat tabungan dan investasi.
Teori
Pasar Tenaga Kerja
Solmon (1980) dalam Sinaga (2005)
menjelaskan, bahwa pasar tenaga kerja adalah tempat aktivitas dari bertemunya
pelaku-pelaku, pencari kerja dan pemberi lowongan kerja. Proses bertemunya
pencari kerja dan pemberi lowongan kerja dapat terjadi sebentar saja namun
dapat pula memakan waktu yang lama, masalah yang dihadapi oleh kedua belah
pihak di pasar yaitu: setiap perusahaan yang menawarkan lowongan kerja maka
menginginkan kualitas serta keahlian pekerja berbeda-beda sehingga menyebabkan
terjadinya perbedaan tingkat upah. Sedangkan pencari kerja memiliki keahlian
juga berbeda-beda sehingga pekerja menginginkan tingkat upah yang juga
berbeda-beda pula. Di mana letak masalah dari kedua belah pihak adalah
keterbatasan informasi.
Teori penawaran dan permintaan tenaga
kerja
Suparmoko dan Maria (2000) dalam Sinaga
(2005) menjelaskan bahwa pada prinsipnya teori penawaran tenaga kerja dan teori
permintaan tenaga kerja merupakan fungsi dari tingkat upah, di mana pendapat
dari kaum klasik menyatakan, jika semakin tinggi tingkat upah yang diminta oleh
kaum pekerja maka akan semakin sedikit jumlah penawaran tenaga kerja (lowongan
kerja) yang dapat diberikan dan akan berlaku sebaliknya. Dalam memahami
mekanisme pasar tenaga kerja harus dilihat bagaimana individu pekerja terdapat
perbedaan, maka untuk menentukan kuva penawaran tenaga kerja pada suatu daerah
adalah dengan menjumlahkan kurva-kurva penawaran dari setiap individu, oleh
sebab itu kurva dari penawaran tenaga kerja berbentuk melengkung kebelakang
(backward bending curve).
Teori keseimbangan permintaan dan
penawaran tenaga kerja
Keseimbangan permintaan dan penawaran
tenaga kerja dapat terjadi jikalau pencari kerja dan pemberi lowongan kerja
telah sepakat atas tingkat upah, sehingga kesepakatan tersebut disebut sebagai
keseimbangan (equilibrium).
Todaro (2003) menyatakan bahwa dalam
pasar persaingan sempurna ( perfect competition), di mana tidak ada satupun
produsen dan konsumen yang mempunyai pengaruh atau kekuatan yang cukup besar
untuk mendikte harga-harga input maupun output, tingkat penyerapan tenaga kerja
(level of employment) dan harganya (tingkat upah) ditentukan secara bersamaan
oleh segenap harga-harga output dan faktor-faktor produksi selain tenaga kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar