Oleh Sulfiana
“SBY Sindir
Politik Dinasti: Hati-hati dengan Kekuasaan, Godaannya Besar “, oleh Mega Putra
Ratya, download Pkl.
14.20 WITA tgl 26-11-2013.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Lahirnya
pemikiran untuk melakukan suatu perubahan sistempemerintahan dari sistem
sentralisasi menjadi sistem desentralisasi memberikanharapan yang sangat besar
bagi bangsa Indonesia untuk menciptakankesejahteraan bagi seluruh lapisan
masyarakat. Banyak pihak yang menganggapbahwa sistem ini akan memberikan
jawaban terhadap keraguan seluruh bangsaIndonesia yang selalu menganggap bahwa
pembangunan hanya terpusat padaPulau Jawa, pulau yang menjadi tempat pusat
pemerintahan. Dulunyapemerintah pusat harus mengurusi seluruh daerah yang ada
di Indonesia,sehingga mau tidak mau pasti ada daerah yang akan luput dari
perhatianpemerintah pusat, mengingat begitu banyak dan luasnya daerah yang ada
diNegara Kesatuan Republik Indonesia ini serta tidak didukungnya dengan
aksestransportasi yang memadai.
Upaya
untuk memperjelas adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pasca pemerintahan Orde
Baru memang telah membawa hasil yang cukup bermakna. Kekuasaan yang sebelumnya
tersentralisasi kemudian menjadi terbagi-bagi. Di tingkat pemerintahan pusat, distribusi
kekuasaan di lembaga-lembaga Negara lebih tampak, sehingga memungkinkan
terjadinya saling kontrol antara satu dengan yang lain. Di dalam relasi antara
pusat dan daerah, kekuasaan juga terdistribusi. Di dalam membuat
kebijakan-kebijakan, pemerintah daerah tidak lagi sangat bergantung pada
pemerintah pusat sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya.
Sistem
ini membuat seseorang menjadi termotivasi untuk menjadi salah satu pejabat
tertinggi dalam suatu daerah dan bisa mengatur segala urusan di dalam daerah
yang di bawahinya. Dalam hal ini tidak jarang partai politik menjadi peran
utama untuk mencapai tujuan seseorang. Perlu diketahui bahwa pada saat ini
banyak kasus yang terjadi terkait dengan politik dinasti dalam suatu
pemerintahan daerah karena adanya kekuasaan dari pemerintah daerah dan ini
merupakan penyelewengan kekuasaan ketika hal tersebut menimbulkan kerugian yang
besar terhadap perekonomian dan pembangunan dari daerah tersebut.
Menurut pakar
psikologi politik itu pada hakikatnya kekuasaan yang menjadi motif utama para
politisi tersebut sebenarnya bersumber pada konflik intrapsikis yang dialihkan
ke domain publik. Dengan kata lain, Laswell curiga bahwa arena politik sebagai
“ajang perebutan kekuasaan” tidak lebih sebagai kompensasi dari ketidakmampuan
seseorang mengatasi konflik-konflik dalam jiwanya sendiri. Motif kekuasaan ini
menurut Lasswellbiasanya diberi pembenaran (rasionalisasi) yang bermacam-macam,
seperti demi ideology, kepentingan rakyat, dan lain-lain.
Istilah dinasti politik atau politik
dinasti dimengerti sebagai praktik membangun kekuasaan yang menggurita oleh
sejumlah orang yang masih memiliki kaitan kekerabatan.Sejak
otonomi digelar di Indonesia, yang kemudian diikuti pemilihan daerah yang
digelar langsung, ada kecenderungan bermunculan dinasti-dinasti politik.
Dinasti
politik merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang bertujuan
untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya
dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang
mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Itulah
pengertian netral dari dinasti politik. Terdapat pula pengertian positif dan
negatif tentang dinasti politik. Negatif dan positif tersebut bergantung pada
proses dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan
dinasti politik bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis
serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat maka dinasti politik dapat berarti positif. Akan
tetapi, bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif
dan negatif arti dinasti politik juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial
masyarakat, sistem hukum dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik
bersangkutan. Dinasti politik yang terdapat pada masyarakat dengan
tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang
lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka dinasti politik dapat
berarti negatif.
Jadi
bagaimana seharusnya masyarakat menilai budaya politik dinasti ini, dan apakah
masyarakat termasuk pihak yang mendukung hal tersebut ketika dikaitkan dengan
pemilihan umum di mana masyarakat terlibat di dalamnya dan apakah dampak yang
ditimbulkan politik dinasti tersebut hanya bisa dibiarkan begitu saja? Dari
semua latar belakang tentang Politik Dinasti ini, maka pemakalah ingin mengulas
tentang Pengaruh Politik Dinasti di Daerah Terhadap Perekonomian”.
B.
Rumusan Masalah
Fenomena
Politik Dinasti ini merupakan perhatian publik dari zaman presiden pertama
hingga sampai saat ini. Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang
punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak
melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Dari latar
belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh politik dinasti di
tingkat daerah terhadap perekonomian dan pembangunan daerah?
2. Bagaimanakah pro dan kontra masyarakat
dengan adanya budaya politik dinasti tersebut?
BAB
II
KAJIAN
TEORI
Tidak dapat dipungkiri Politik dinasti memang masih sangat
kental keberadaannya di Indonesia. Secara hukum dan konstitusi, politik dinasti
merupakan fenomena yang legal dan tidak dilarang oleh UU. Akan tetapi
selayaknya politisi harus menggunakan kesempatan tersebut dengan bijak, yaitu
mengutamakan kompetensi untuk menduduki suatu jabatan. Seperti
pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun konstitusi ataupun
undang-undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki
jabatan di daerah, ada batasan norma kepatutan. Menurut Presiden, politik
dinasti akan sangat berbahaya jika kekuasaan politik dan kekuasaan bisnis
menyatu di suatu daerah.
Untuk itu, politisi maupun
pemerintah yang hendak melakukan praktek politik dinasti perlu melakukan
evaluasi ulang agar dapat mencetak pemimpin-pemimpin terbaik di negeri ini.
Evaluasi tersebut perlu diimplementasikan dalam bentuk kaderisasi yang selektif
dan kompeten meskipun berasal dari keluarga sendiri. Sehingga masyarakat
menganggap politik dinasti sebagai bagian dari keberagaman politik di
Indonesia.
Dewan Pimpinan
Pusat Ormas Persatuan Indonesia (PERINDO) menilai aturan soal dinasti politik
sebaiknya diatur dalam UU Pilkada. Sebab itu, aturan dinasti politik mendesak
segera diwujudkan dalam pembahasan RUU Pilkada. DPR dan pemerintah sepakat
memasukkan aturan pembatasan praktek dinasti politik dalam Rancangan Undang-undang
Pemilihan Kepala Daerah.Rancangan pasal itu menyebutkan, keluarga kepala daerah
baru dibolehkan mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah setelah lima tahun
sejak kepala daerah itu turun dari jabatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGARUH
POLITIK DINASTI DI DAERAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH
Politik
kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis kekeluargaan
merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola
pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun di atas
basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is thicker than waterdarah lebih kental daripada air. Doktrin
ini menegaskan, kekuasaan, karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan,
kekayaan, dan aneka social privileges, harus berputar di antara anggota
keluarga dan para kerabat saja.
Dinasti
politik memang menjadi salah satu isu penting dalam studi politik maupun
sosiologi politik. Dinasti politik tidak sekadar terkait dominasi kekuasaan
oleh seorang aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaannya kepada
keluarganya, tetapi juga terkait bagaimana konstruksi sosial masyarakat
didesain dalam sebuah relasi sosial yang berkeadilan dan lebih humanis.
Dalam
hal ini, dinasti politik tidak hanya dipahami dalam perspektif politik, tetapi
juga menjadi masalah sosiologis dalam realitas masyarakat. Kekuasaan hanyalah
sebagai pintu masuk bagaimana alat-alat kekuasaan ekonomi politik dikuasai oleh
keluarga aktor tersebut. Justru yang menjadi masalah akut adalah kekuasaan
tersebut tidak mampu membawa perubahan sosial ekonomi kepada masyarakat banyak.
Kekuasaan hanyalah menjadi tameng bagi keluarganya untuk menguasai hajat hidup
orang banyak dan dilakukan hanya untuk memakmurkan kekuasaan ekonomi politik
lingkaran keluarganya.
Para
kerabat lantaran pertalian darah dianggap lebih dapat dipercaya dan tak mungkin
berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka, para
elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi caleg
atau calon kepala daerah. "Ini bentuk manipulasi sistem politik modern
melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung banyak kelemahan.Dampak
dari Politik Dinasti ini antara lain adalah :
1.
Perilaku Korupsi dan Nepotisme di daerah
Perilaku
korupsi di daerah sudah semakin jamak. Targetnya adalah Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Hasil penelitian KPK menunjukkan, APBD dijadikan sasaran
korupsi oleh sebagian pejabat pemerintah daerah dan DPRD. Ini melibatkan cukong
politik dan cukong finansial. Setidaknya tercatat 1.890 laporan korupsi terjadi
di sejumlah daerah, termasuk daerah pemekaran. Banyak kongkalikong terjadi
dalam pemanfaatan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Sebut
saja, misalnya, kasus penyelewengan APBD Kabupaten Garut 2004-2007 sebesar Rp
6,9 miliar, dengan tersangka Agus Supriadi, mantan Bupati Garut. Lalu,
penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat tahun anggaran 2000-2007 sebesar Rp 91
miliar. Tersangkanya adalah mantan Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin,
yang saat kasus itu terjadi masih menjabat sebagai Bupati Langkat.
Penggerogotan keuangan daerah merupakan bentuk kejahatan, yang mengakibatkan
banyak hak rakyat gagal ditegakkan.
Contoh
lain adalah kasus pemborosan oleh Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yang
tidak mau menempati rumah dinas seharga Rp 16,14 miliar yang sudah selesai
dibangun pada Februari 2012, dengan alasan perabotan dan perlengkapannya belum
siap. Alasan ini dinilai mengada-ngada. Anehnya, Ratu Atut lebih memilih
menempati rumah pribadi miliknya sendiri, yang dikontrak oleh Pemprov Banten
sebagai rumah dinas, dengan nilai kontrak Rp 250 juta per tahun. Selama
kepemimpinannya, uang negara yang dihabiskan untuk biaya rumah dinas mencapai
Rp 1,750 miliar. Artinya, Pemprov harus membayar ke Ratu Atut senilai Rp 250
juta tiap tahun, agar Ratu Atut bisa tinggal di rumahnya sendiri yang
diperlakukan sebagai rumah dinas.
Faktor-faktor
yang mendorong korupsi, atau situasi yang dianggap mendukung korupsi, yaitu :
a. Kedekatan sistem dan kontak yang
intensif antara ekonomi dan administrasi
b. Arus informasi yang masuk tidak menyolok
c. Pemusatan kompetensi pada pekerja ahli
tertentu dengan ruang gerak yang memungkinkan mereka mengmbil keputusan
d. Batasan yang kabur antara hal-hal yang
dapat diterima secara sosial dan perbuatan yang melanggar hokum
e. Kurangnya kesadaran korban bahwa mereka
diperlakukan tidak adil.
Dalam masyarakat
seperti Indonesia atau Thailand, faktor kultural yang umumnya mendorong
timbulnya korupsi, misalnya, adalah adanya nilai atau kebiasaan sebagai berikut
:
a) Adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh
atau semacam itu kepada pejabat pemerintah. Tindakan seperti itu di Eropa atau
Amerika Utara bisa dianggap korupsi, tapi di kedua masyarakat Asia tu tidak. Bahkan
pemberian seperti itu bisa dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh kawula
kepada gustinya
b) Sangat pentingnya ikatan keluarga dan
kesetiaan parokial lainnya. Dalam masyarakat seperti Indonesia, kewajiban
seseorang pertama-tama adalah memperhatikan saudara terdekatnya kemudian trah
atau sesame etniknya. Sehingga seorang saudara yang mendatangi seseorang
pejabat untuk minta perlakuan khusus sulit untuk ditolak. Penolakan bisa
diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional. Tetapi menuruti
permintaan berarti mengingkari norma-norma hokum formal yang berlaku.
Nepotisme
adalah salah satu bentuk korupsi. Nepotisme ini juga berlangsung di banyak
daerah pada era reformasi. Banyak anak, istri, suami, saudara kandung, saudara
tiri, keponakan, menantu, dan mertua menikmati jabatan publik karena ada
hubungan kekerabatan dengan pejabat sebelumnya, terutama dalam pemilihan umum
kepala daerah (pemilu kada). Para politikus lebih suka mewariskan kekuasaan
kepada kerabatnya, yang diyakini akan lebih loyal dan tidak akan berkhianat,
dengan cara memanipulasi sistem politik dan demokrasi.
Telah
banyak kasus terungkap tentang nepotisme yang terjadi di daerah.
Contoh Dinasti Politik di
Daerah
Semenjak otonomi daerah diberlakukan di sejumlah daerah bermunculan
dinasti-dinasti politik. Beberapa contoh dinasti politik daerah dapat disebut,
di antaranya adalah:
1)
Dinasti keluarga
Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang menguasai jajaran eksekutif dan
legislatif di tingkat provinsi dan seluruh kabupaten di Banten;
Rincian
:
a.
Ratu Atut
Chosiyah, Gubernur Provinsi Banten;
b.
Suami Ratu
Atut Chosiyah, Hikmat Tomet, anggota Komisi V DPR dan Pemilu 2014 ikut kembali
pencalegan dari Dapil Banten;
c. Anak
pertama Ratu Atut Chosiyah, Andika Hazrumy, anggota DPD dan Pemilu 2014 ikut
mencalonkan sebagai Caleg Dapil Pandeglang-Lebak;
d. Menantu
Ratu Atut Chosiyah, istri Andika, yakni Ade Rosi Khaerunissa, Wakil Ketua DPRD
Serang dan mendaftar sebagai caleg DPRD Banten dari Partai Golkar;
e. Anak
lainnya dari Ratu Atut Chosiyah, Andiara Aprilia Hikmat mencalonkan diri
sebagai anggota DPD;
f. Menantu
Ratu Atut, suami Apilia, Tanto Warbono, caleg DPRD Provinsi Banten di Dapil
Kota Tangerang Selatan;
g. Kakak
kandung Ratu Atut, Ratu Tatu Chasanah, Wakil Bupati Serang;
h. Adik
tiri Ratu Atut, Haerul Jaman, Walikota Serang;
i.
Adik ipar Ratu Atut, Airin Rachmi
Diany, Walikota Tangerang Selatan;
j.
Adik ipar Ratu Atut, Aden Abdul
Cholik, anggota DPRD Provinsi Banten;
k. Ibu
tiri Ratu Atut, Heryani, Wakil Bupati Pandeglang;
l.
Ibu tiri Ratu Atut, Ratna
Komalasari. Anggota DPRD Kota Serang;
2)
di
Kabupaten Kutai Kartanegara-Kaltim dimana bupati yang sekarang, Rita
Widyasari, adalah anak dari bupati sebelumnya yang bermasalah secara hukum.
Rita Widyasari berhasil mengalahkan Awang Ferdian Hidayat yang merupakan anak
dari Awang Farouk, Gubernur Kaltim saat ini;
3)
di
Bontang-Kaltim, istri walikota Bontang yang juga menjabat sebagai ketua
DPRD Bontang, Neni Moernaeni, maju dalam Pemilukada Bontang 2011;
4)
di Lampung,
juga disesaki persaingan putra tokoh politik. Rycko Menoza, anak Gubernur
Lampung, Sjachroedin, berhasil menjadi Bupati Lampung Selatan. Di Way Kanan,
putra bupati setempat, Agung Ilmu Mangkunegara, bersiap meneruskan kekuasaan
sang ayah. Anak Bupati Tulang Bawang, Arisandi Dharma Putra, berlaga di
Pemilukada kabupaten lain: Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung, Heru Sambodo,
anak Ketua Golkar Lampung, Alzier Dianis Tabrani, mengincar posisi walikota.
5)
Di Jambi,
terjadi persaingan untuk jabatan gubernur mendatang di antara dua orang
keluarga dekat Gubernur Zulkifli Nurdin, yang telah menjabat dua periode,
yaitu Hazrin Nurdin, adik gubernur, dan Ratu Munawwaroh, istri gubernur.
6)
Di
Tabanan-Bali, Eka Wiryastuti, anak Bupati Tabanan, Adi Wiryatama, bersikeras
maju menggantikan kursi bapaknya. Di Lombok Tengah, NTB, pada Pemilukada Juni
2005, melahirkan pasangan mertua-menantu pertama sebagai bupati (Lalu
Wiratmaja) dan wakil bupati (Lalu Suprayatno). (7) Di Kalimantan Tengah, muncul
dinasti keluarga Narang. Pada saat Teras Narang dilantik menjadi Gubernur
Kalteng pada Agustus 2005, ketua DPRD kalteng dijabat oleh kakaknya, Atu
Narang. Pasca-Pemilu 2009, pamor dinasti politik Narang makin benderang. Atu
Narang terpilih kembali sebagai Ketua DPRD Kalteng. Putra sulung Atu, Aris
Narang, menjadi anggota DPRD Kalteng dengan suara terbayak. Adik Aris, Asdy
Narang, terpilih jadi anggota DPR-RI.
7)
Di
Sulawesi Selatan, terdapat dinasti keluarga Yasin Limpo. Pensiunan Angkatan
Darat ini pernah menjadi Bupati Luwuk, Majene, dan Gowa. Yasin telah pensiun.
Tapi istri dan anak-anaknya tetap berkiprah di ranah politik. Pada periode
2004-2009, istri Yasin, Nurhayati, menjadi anggota DPR-RI. Putra pertamanya,
Tenri Olle, jadi anggota DPRD Gowa. Tenri bertugas mengawasi adiknya, Ichsan
Yasin (putra kelima), selaku Bupati Gowa. Putra kedua, Syahrul Yasin, menjadi
Wakil Gubernur Sulsel dan sejak April 2008 naik jadi gubernur setempat.
8)
Di Jawa
Tengah, terdapat salah satu keluarga legendaris sebagai pemasok pejabat publik
setempat yaitu keluarga pasangan R. Sugito Wiryo Hamidjoyo dan R. Rustiawati.
Lima dari 11 putra Sugito meramaikan bursa jabatan publik di Jawa Tengah dan
Jawa Barat pada periode 2004-2009. Putra kedua, Don Murdono, jadi Bupati
Sumedang sejak 2003 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2008. Adiknya, Hendy
Boedoro, menjadi Bupati Kendal sejak tahun 2000 dan terpilih untuk kedua
kalinya pada 2005. Karier Hendy tersandung. Sejak Desember 2006, ia ditetapkan
sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Si bungsu, Murdoko, juga tak mau
kalah. Ia melesat jadi Ketua DPRD Jawa Tengah 2004-2009 dan terpilih untuk
kedua kalinya pada 2009. Sang ayah, Sugito, dulu adalah Sekretaris PNI Kendal.
9)
Di
Kabupaten Indramayu-Jawa Barat, Bantul-D.I. Yogyakarta dan
Kediri-Jawa Timur, di mana bupati sekarang di 3 kabupaten tersebut adalah istri
dari bupati sebelumnya; dan masih banyak contoh lainnya di berbagai
daerah di Indonesia.
2.
Perencanaan
Pembangunan Daerah Buruk
Penelitian
terhadap Indeks Tata Kelola Pemerintahan atau Indonesia Governance Index (IGI)
menemukan, kualitas perencanaan pembangunan daerah di seluruh Indonesia masih
buruk. Hanya dua dari 33 provinsi yang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Kepala Daerah (LKPj) sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD)-nya.
"Kami
menemukan, kualitas perencanaan pembangunan masih buruk. Kalau dilihat dari
kesesuaian RPJMD dengan LKPj, dari 33 provinsi, rata-rata nilainya hanya 3,55
dari nilai maksimal 10," ungkap Senior Adviser Kemitraan Abdul Malik
Gismar dalam pemaparan hasil IGI, Senin (2/9/2013), di Hotel JW Marriott,
Jakarta Selatan.
Ia
mengungkapkan, dari hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, hanya Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta yang memiliki kesesuaian antara
RPJMD dengan LKPj.
Gismar
memaparkan, dari beberapa daerah bahkan tidak mencantumkan target tahunan yang
ingin dicapainya dalam RPJMD. Selain itu, katanya, berdasarkan penelitian 2011
lalu, banyak daerah yang terlambat mengesahkan anggaran penerimaan dan belanja
daerah (APBD).
"Beberapa
provinsi baru mengesahkan APBD 2011 pada rentang waktu Januari hingga April
2011. Daerah tersebut adalah Bengkulu, DKI Jakarta, Papua Barat, dan
Aceh," kata Gismar.
Dia
mengatakan, keterlambatan pengesahan APBD menyebabkan keterlambatan pelaksanaan
program kerja. Dengan demikian, ujarnya, pelayanan publik pun terhampat.
"Akibat
yang lebih fatal misalnya penyebaran penyakit atau gizi ibu dan anak
kurang," katanya. Ia menilai, dari hasil peneilitian IGI, kinerja DPRD
cenderung rendah. Menurutnya, hal itu mempengauhi kinerja pemerintahan secara
keseluruhan.
"Meskipun
DPRD memiliki dana operasional yang besar, performa DPRD lemah. Ini menimbulkan
pertanyaan soal efisiensi dan efektivitas DPRD provinsi," ujar Gismar. Kemitraan meluncurkan evaluasi kinerja pemerintahan
daerah melalui Indeks Tata Kelola Pemerintahan atau Indonesia Governance Index.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, memerintahkan kepada seluruh kepala daerah
untuk menggunakan penilaian tersebut sebagai evaluasi dan perbaikan kinerja
pemerintahan.
Praktik
politik dinasti yang dilakukan sejumlah kepala daerah dinilai sudah menyimpang
dari gagasan demokrasi. Peneliti ICW Ade Irawan menyebutkan, praktik politik
yang terkesan demokratis ini ternyata hanya dikuasai segelintir elit lokal yang
hanya bermotif mencari keuntungan semata.
"Mereka
(keluarga) menguasai instrumen demokrasi yang ada di daerah dengan harapan
mencari proyek pemerintah," katanya. Menurut Ade, berdasarkan penelitian
yang dilakukan, tujuan kerabat kepala daerah yang ingin menduduki jabatan
publik di daerah tersebut ternyata bukan untuk gagah-gagahan apalagi ingin
menyejahterakan masyarakat setempat. Motif mereka kebanyakan hanya ingin
mencari dan menguasai proyek yang bersumber dari dana APBD.
"Caranya dengan menempatkan perusahaan yang dimiliki keluarga untuk ikut tender dan menguasainya," ujarnya. (Emir Chairullah)
"Caranya dengan menempatkan perusahaan yang dimiliki keluarga untuk ikut tender dan menguasainya," ujarnya. (Emir Chairullah)
3.
Angka
Penganggura Terbuka
Tidak
ada yang bisa melarang seorang relasi atau kerabat pejabat untuk dipilih dan
menjadi pejabat juga. Itu merupakan hak konstitusional. Namun, jelas menjadi
mengherankan apabila terlalu banyak orang dari sebuah klan menjabat jabatan
publik. Apalagi rakyat Banten tetap miskin. Baru baru ini, Badan Pusat
Statistik merilis Data Strategis 2013,yangdi antaranya mengungkap
tentang kondisi ketenaga-kerjaan di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk
angka pengangguran terbuka.
Akibat
kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang yang berasal dari satu keluarga
tanpa memberi ruang kepada pihak lain untuk berpartisipasi.
4.
Dampak Buruk Bagi Akuntabilitas Birokrasi dan
Pemerintahan
Kita boleh sependapat dinasti
politik tidak akan merusak demokrasi, tetapi menjadi tidak sehat dalam
kehidupan berdemokrasi, termasuk jalannya pemerintahan. Mengapa?
Setidaknya muncul tiga kekhawatiran
:
Pertama, ada upaya melanggengkan
kekuasaaan.
Kedua, menutup peluang calon lain
yang berkualitas.
Ketiga, kekhawatiran menguatnya
kolusi dan nepotisme.
Ketiga kekhawatiran ini cukup
beralasan seiring merebaknya penggalangan kekuatan bagi pejabat daerah untuk
melanggengkan kekuasaan dengan memaksanakan kerabatnya menduduki jabatan
strategis, meski tidak memiliki integritas. Inilah yang dimaksudkan dengan politik
dinasti. Jika ini dipaksakan, boleh jadi akan terbangun dinasti regional,
tetapi di sisi lain dapat merapuhkan stabilitas politik regional.
Upaya mencegah praktik politik uang
demi melanggengkan dinasti regional, kalangan legislatif mencoba memagarinya
melalui RUU Pilkada yang sekarang dalam pembahasan di DPR. Ada satu rumusan
pasal yang melarang kerabat incumbent atau keluarga dekat incumbent
apakah gubernur, bupati, wali kota, maju sebagai calon kepala daerah di
wilayah yang sama.
5.
Mengabaikan Etika Politik dan Mengebiri Hak Politik
Orang Lain
Pemerintahan
yang dihasilkan dari dinasti politik lebih berorientasi mencari keuntungan
untuk keluarga, bukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
6.
Dinasti
Politik di Era Otonomi Daerah
Dengan dikeluarkannya UU 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat memberikan kekuasaan yang
sangat luas kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota. Apalagi di tahun 2005
dilaksanakan pemilihan kepala daerah langsung, yang pertama kali dilaksanakan
di Sulawesi Utara, pemilihan Gubernur Sulut 2005.
Dengan adanya otonomi daerah
dimaksudkan untuk memberikan keluasan kepada putra daerah untuk membangun
daerahnya. Otda, partisipasi masyarakat diharapkan lebih banyak dalam membantu
pembangunan. Namun dalam prakteknya ternyata otonomi daerah ini bukan seperti
itu. Malah otda ini memberikan keluasan kepada elite untuk menguasai daerah.
Politik dinasti ini sebagai cambuk
bagi berlangsungnya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah yang diberikan pusat
bukannya untuk dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi lebih kepada elite
masyarakat. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang
tersandera oleh demokrasi modern, yang disebut politik dinasti.
Politik dinasti ini meresahkan
banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau politik dinasti ini
dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di zaman dahulu. Dimana
yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari kelangan, keturunan dan
keluarganya saja.
B.
PRO DAN
KONTRA MASYARAKAT TERHADAP POLITIK DINASTI
Dalam menilai Politik Dinasti ini,
sebagian dari masyarakat tidak keberatan dengan adanya Politik Dinasti
tersebut, namun sebgian yang lain tidak menyetujui bahkan mengharapkan untuk
diadakan pembatasan terkait dengan politik dinasti tersebut.
Pendapat dari Pihak yang Tidak Keberatan
(Pro) dengan adanya Politik Dinasti
Mengapa dinasti politik dipermasalahkan di Indonesia? Apa
yang salah dengan dinasti politik di Indonesia? Bukankah mengikuti
kontestasi politik untuk menjadi pimpinan jabatan publik, seperti kepala
daerah, merupakan hak politik tiap warga negara?
Itulah kira-kira beberapa gambaran pertanyaan yang
diajukan oleh para penentang pembatasan dinasti politik di Indonesia.
Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa Fenomena
dinasti politik ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Fenomena ini terjadi pula
di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Di India dan
Pakistan misalnya, terdapat dinasti politik Gandhi dan Bhutto. Di Thailand dan
Filipina terdapat dinasti politik Sinawatra dan Aquino. Di Lebanon-Timur
Tengah, terdapat dinasti politik Gemayel dan Hariri. Di Amerika Serikat
terdapat dinasti politik Bush, Clinton, dan tentu saja yang paling terkenal adalah
dinasti politik Kennedy.
Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat
tribal-pastoral. Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan
komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional.
Politik kekerabatan, dibangun di atas basis pemikiran yang bertumpu pada
doktrin politik kuno: blood is thicker than water darah lebih kental daripada
air. Doktrin ini menegaskan, kekuasaan karena dapat mendatangkan kehormatan,
kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges harus berputar di antara
anggota keluarga dan para kerabat saja.
Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya
hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak melingkar di
antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada dalil blood is
thicker than water itu, di era modern, para politikus mewariskan kekuasaan
kepada kerabatnya dengan cara memanipulasi sistem politik demokrasi.
Para kerabat lantaran pertalian darah dianggap lebih dapat
dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu
kekuasaan. Maka, para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota
keluarga menjadi caleg atau calon kepala daerah. "Ini bentuk manipulasi
sistem politik modern melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang
mengandung banyak kelemahan.
Mereka
menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena political privileges
keluarga, yang hanya memproduksi politisi tiban atau karbitan. Bukan political
credentials kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati nan otentik.
Political
credentials bisa diperoleh melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme
sosial-politik yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok
politisi genuine, kredibel, dan bereputasi cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan
seseorang menjadi politikus terpelajar dengan prestasi individual yang secara
objektif diakui masyarakat. Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik
dan pengalaman pendidikan yang panjang.
Pendapat dari Pihak yang Keberatan
(Kontra) dengan adanya Politik Dinasti
Dinasti politik perlu dibatasi karena pertimbangan berikut.
Pertama, dinasti politik, terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik
oligarkhi yang bernuansa negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga
eksekutif dan legislatif dikuasai oleh satu keluarga, maka mekanisme checks and
balances tidak akan efektif. Akibatnya, rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan
untuk kepentingan diri dan keluarga.
Kedua, dinasti politik mengarah pada terbentuknya kekuasaan
yang absolut. Bila jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga
dekat yang berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun
menjabat, kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian
oleh anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan Soeharto ala
orde baru. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana
adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute
Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut
pula).
Ketiga, dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang
pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum
(law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik
menjadi tidak adil. Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi
politik, seperti Pemilukada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas
pemerintah dan jaringan incumbent untuk memenangkan pertarungan seraya
menyingkirkan para kompetitornya. Apalagi, bila keluargapun turut berbisnis
ikut dalam tender-tender dalam proyek pemerintah di daerah bersangkutan, maka
dapat dibayangkan dana-dana pemerintah dalam bentuk proyek mudah menjadi
bancakan dengan aneka warna KKNnya. Dana pemerintah seolah milik uang
keluarga.
Keempat, dinasti politik dapat menutup peluang warga negara
lainnya di luar keluarga incumbent untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini,
bila terjadi, akan mendegradasi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu
diatur agar jabatan kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus
menerus oleh satu keluarga inti secara berurutan.
Kelima, pembatasan dinasti politik diarahkan untuk
meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan
bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan
mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilu maupun
Pemilukada.
Prinsipnya, pembatasan dinasti politik itu untuk mengatur
bukan mematikan hak politik seseorang sama sekali. Oleh karenanya, penulis
tidak setuju dengan anggapan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak asasi
manusia (HAM) seperti yang dilontarkan oleh Sekjend Komite Independen Pemantau
Pemilu (KIPP), Muchtar Sindang.
"Perlu
dilakukan pembatasan, supaya minimal untuk satu posisi (jabatan). Penting ada
larangan keluarga (kerabat) maju dalam pencalonan kepala daerah. Pemerintah
menjelaskan konsep larangan kerabat dan keluarga petahana dalam Pilkada
tersebut dilakukan dengan jeda satu periode masa jabatan si petahana atau lima
tahun”.
Jika menilik latar belakang terjadinya sistem dinasty ini
berawal dari diterbitkannya undang-undang otonomi daerah di mana setiap daerah
diberi kewenangan yang luas untuk mengatur daerahnya sendiri dengan resiko ada
banyak ruang untuk terjadinya KKN, lantaran sedikit sekali pengawasan terhadap
prilaku politik elit daerah. Andaikan ada pengawasan seperti yang dilakukan BPK
berupa audit keuangan, mereka hanya diberikan catatan dan tidak ada satupun
yang langsung diekskusi sebagai pelanggaran hukum. Akibatnya di antara mereka
yang menjabat sepertinya semakin berani bahkan pasang badan dengan alasan
kondisi keuangan mengalami defisit padahal jika ditelaah lebih jauh ada banyak
ketimpangan penggunaan anggaran di dalamnya.
Selain ketika mereka sudah menduduki jabatan penting, ketika
proses Pilkada banyak dibumbui dengan politik uang ditambah lagi masyarakat
yang masih saja mau menerima uang yang jelas-jelas sebagai bentuk pembiaran
ketimpangan dalam pemerintahan yang akan mereka pimpin.
Sebuah lingkaran politik yang cukup rumit, karena ketika
sebuah keluarga sudah menjadi raja-raja kecil di daerahnya maka akan berakibat
pada pola kepemimpinan yang otoriter dan haus akan korupsi. Seperti sebuah
jaring laba-laba yang tidak akan memberikan peluang perubahan dan perbaikan
bagi daerahnya karena sistem yang dibentuk seperti sebuah kerajaan.
Politik dinasti
ini meresahkan banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau politik
dinasti ini dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di zaman
dahulu. Dimana yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari kelangan,
keturunan dan keluarganya saja.
Hasil
Ulasan Pemakalah
Menurut Pendapat saya, saya sepakat
dengan usulan pemerintah yang mengatur pembatasan syarat jabatan kepala
daerah guna menghindari upaya pembangunan dinasti politik di daerah. Sebenarnyasah-sah
saja mereka menduduki jabatan penting dalam pemerintahan asalkan tidak
mengandung unsur KKN dan ditunjuk karena profesionalisme dan akuntabilitas
serta kredibilitas sebagai kepala daerah yang benar-benar memperjuangkan
aspirasi rakyatnya apalagi para pemimpin tersebut menunjukkan sikap
kesederhanaan dan tidak menunjukkan kemewahan ketika masyarakatnya dalam
himpitan kesulitan ekonomi.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Saat ini, pemerintah pusat melalui
Kementerian Dalam Negeri sedang merancang UU untuk meminimalkan politik
dinasti ini. Di dalam RUU tersebut menyebutkan bahwa kepala daerah yang
menjabat saat ini (2 x periode jabatan) tidak boleh mencalonkan istri, anak dan
keluarganya untuk satu kali pemilihan. Ini dimaksud untuk membatasi adanya
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia.
Politik dinasti harus dilawan oleh
semua kalangan. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan strategis
untuk memutus politik dinasti ini. Masyarakat tidak boleh terlalu bergantung
pada sekelompok orang yang ada di daerah itu. Seorang kepala daerah ataupun
jabatan penting yang ada di daerah harus diisi oleh orang yang memiliki
akuntaabilitas, kapabalitas dan integritas. Bukan oleh mereka yang memiliki
uang. Prinsip keadilan harus tetap ditegakkan.
B.
Saran
Para wakil rakyat seharusnya memiliki dan selalu menjunjung
tinggi tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat. Adanya pertanggungjawaban seperti
itu tidak hanya akan menjadikan accountable dan transparan melainkan juga untuk
membangun sistem perwakilan yang lebih baik.
Disarankan kepada semua wakil rakyat agar berhati-hati dalam
menggunakan kekuasaan karena kekuasaan yang disalahgunakan akan merugikan
banyak pihak, dan masyarakat juga diharapkan agar lebih aktif memastikan di
mnapun di negeri ini baik di pusat maupun daerah , tidak boleh
terjadi monopoli, tidak boleh terjadi konsentrasi kekuasaan politik apalagi
dibarengi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan bisnis yang tidak membawa
kebaikan di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianus Toni Pito, Efriza, Fasyah
Kemal, 2006. Mengenal Teori-Teori
Politik. Bandung : Nuansa
Marijan
Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia. Jakarta
: Kencana.
Mas’oed Mohtar, 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Cet.
II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muluk Hamdi, 2010. Mozak Psikologi Politik Indonesia. Jakarta
: PT. RajaGrafindo Persada.
“Ini
Dia Cara Mendagri Batasi Dinasti Politik Daerah”, oleh Website Widyaiswara
Kemendagri, download Pkl. 13.23 WITA tgl 26-11-2013
“Politik
Dinasti Mewarnai Otonomi Daerah”, oleh Dedet
Zelthauzallam, download Pkl. 13.25 WITA tgl 26-11-2013
“SBY
: Pejabat Daerah Jangan Selewengkan Kekuasaan”, oleh Rico Afrido, download Pkl. 14.11 WITA tgl 26-11-2013
“Politik
Dinasti Dalam Pemerintah Daerah”, oleh Tri Widodo W.
Utomo, download Pkl. 14.17 WITA
tgl 26-11-2013
“Kekuasaan
Neo-Dinasti Harus Dihentikan”, oleh Wakil Ketua DPD,download
Pkl. 14.17 WITA tgl 26-11-2013
“Dinasti
Politik/Kekuasaan? Tolong Berkacalah”, Opini, download
Pkl. 14.20 WITA tgl 26-11-2013
“Perilaku
Korupsi, Politik Dinasti dan Nepotisme di Daerah”, oleh Satrio
Arismunandar, download Pkl. 14.20 WITA tgl 26-11-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar