Oleh Sulfiana
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang
digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan
kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara
melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam
membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah
memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui
Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak
yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari
kewajiban tersebut.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan
telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak
berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah
Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP).
Masalah
tindak pidana di bidang perpajakan merupakan hal yang sangat penting khususnya
dalam rangka penegakkan hukum (law enforcement) yang harus dilaksanakan, agar
ketentuan undang-undang dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, terlebih dalam
memenuhi rasa keadilan di masyarakat dan kepastian hukum itu sendiri.
Tindak
pidana itu sendiri adalah suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau
undang-undang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut
dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan
sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum.
B.
Rumusan Masalah
Sehubungan dengan hal-hal pokok tersebut di atas, maka pokok
permasalahan dalam penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengapa penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan) lebih memilih penyelesaian pajak secara pidana kepada wajib pajak
yang melanggar?
2. Bagaimanakah penjabaran sanksi pidana terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak?
3. Bagaimanakah upaya dalam menanggulangi tindak
pidana yang terjadi pada perpajakan?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak
dicapai dalam penyusunan makalah ini ialah :
1. Mengetahui penyebab penegak hukum lebih memilih
penyelesaian pajak secara pidana terhadap wajib pajak yang melanggar.
2. Mengetahui sanksi pidana terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh wajib pajak.
3. Mengetahui proses penyelesaian kasus tindak pidana
dibidang perpajakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Dasar-Dasar Hukum Pajak
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian
keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari
pungutan pajak itu sendiri. Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk
mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang
pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi,
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.”
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak
dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945
terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pasca amandemen menunjukkan
ketegasannya dalam mengatur hal perpajakan.
Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan AtasUndang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat
dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983
disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia
perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri
Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut :
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun
obyek perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b. Harus ada
kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang
terlebih dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada
waktunya,aritinya pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan
efisiensi).
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6
Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak nasional, asas-asas perpajakan
yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini :
a.
Kesederhanaan (
simplification
of law) Bahwa undang-undang tentang
perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi
maupun susunan kata-katanya.
b.
Kegotong-royongan nasional Bahwa
warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c.
Pelimpahan
kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri, maksud pemberian
kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara
sudah memberikan kepercayaan untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri. Kepercayaan yang
diberikan kepada masyarakat disebut self assessment
d.
Adanya kesamaan
hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e.
Kepastian dan
jaminan hukum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati adanya
asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum
dinyatakan bersalah apabila belum ada
bukti-bukti nyata.
B.
Kedudukan Hukum Pajak
R. Santoso Brotodiharjo menyatakan bahwa hukum
pajak termasuk hukum publik. Hukum publik mnerupakan bagian dari tata tertib
hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya. Hukum publik
memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Menurutnya, yang termasuk hukum
publik antara lain hukum tata negara, hukum pidana, hukum administratif,
sedangkan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administratif. Meski demikian
tidak berarti bahwa hukum pajak berdiri sendiri terlepas dari hukum pajak
lainnya (seperti hukum perdata dan hukum pidana).
R. Santoso Brotodiharjo juga menyatakan bahwa hukum
pajak berkaitan erat dengan hukum perdata. Hukum perdata merupakan bagian dari
keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang pribadi. Kebanyakan
hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian,
keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang tercakup dalam lingkungan
perdata, seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak
warisan, dan seterusnya. Adanya kaitan antara hukum pajak dan hukum perdata
ditunjukkan dengan banyaknya istilah-istilah hukum perdata yang digunakan dalam
perundang-undangan perpajakan. Sebaliknya, hukum pajak juga mempunyai pengaruh
besar terhadap hukum perdata. Sebagai contoh, dalam hukum pajak terdapat
ketentuan bahwa lex
specialis (peraturan yang istimewa)
harus diberi tempat yang lebih utama dari lex
generalis (peraturan yang umum).
Ketentuan ini diberlakukan pula dalam undang-undang atau peraturan yang lain,
bahwasanya dalam setiap penafsirannya maka yang pertama-tama dianut adala lex specialis.
Hukum pajak juga berkaitan dengan hukum pidana.
Hukum pidana, seperti yang telah tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) merupakan suatu keseluruhan sistematis yang juga berlaku untuk
peristiwa-peristiwa pidana yang diuraikan di luar KUHP. Hak untuk menyimpang
dari peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHP di Indonesia telah diperoleh
pembuat ordonansi semenjak 16 Mei 1927, dan kesempatan ini banyak digunakan
karena kenyataan bahwa peraturan administratif pun sangat memerlukan
sanksi-sanksi yang menjamin untuk ditaati oleh khalayak umum. Demikian pula
dalam peraturan pajak, terdapat sanksi-sanksi yang bersifat khusus.
C.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Penyelesaian Pajak Secara Pidana Oleh Penegak Hukum
Dalam hidup bernegara, setiap
orang diwajibkan untuk membayar pajak. Jadi, pajak sebagai kewajiban kenegaraan
memberikan kontribusi untuk penerimaan negara berdasarkan Undang-undang Dasar
1945. Oleh karenanya pajak merupakan kewajiban semua warga
masyarakat dan hukum pajak mengatur hubungan antara penguasa/negara dengan
warganya (orang atau badan) dalam pemenuhan kewajiban perpajakan kepada negara. Dengan demikian hukum pajak tergolong dalam hukum
publik yaitu hukum administrasi/tata usaha negara. Hukum pajak sebagai bagian
hukum tata usaha negara bersumber pada peristiwa-peristiwa perdata, yang
apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga hukum yang bertugas
mengumpulkan uang pajak, melakuka tugasnya berlandaskan pada administrasi
pemungutan pajak sesuai undang-undang pajak. Sekalipun hukum pajak bagian dari
hukum administrasi, materi pajak memang tidak lepas dari hukum perdata maupun
pidana. Hukum pajak memiliki keterikatan kuat dengan hukum perdata dan juga
hukum pidana. Bahkan istilah-istilah (terminologi hukum) yang digunakan dalam
hukum pajak banyak mengambil dari istilah yang digunakan dalam hukum perdata maupun
pidana.
Dekatnya hubungan hukum pajak
dengan hukum perdata maupun pidana bisa dimaklumi karena segala macam transaksi
ekonomi dalam hukum perdata menjadi sasaran atau objek dari hukum pajak. Soal
kealpaan dan kesengajaan yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP pada
dasarnya mengacu pada pengertian kealpaan dan kesengajaan dalam hukum pidana.
Demikian juga misalnya soal Wajib Pajak yang memindahtangankan atau memindahkan
hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya
akan diancam dengan Pasal 231 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dapat dikatakan bahwa
pemungutan pajak (pemajakan) adalah serangkaian proses administrasi yang
bertujuan untuk memperoleh uang pajak berlandaskan undang-undang perpajakan
yang mengaturnya. Serangkaian proses administrasi inilah yang menjadi alat
pemerintah mencapai tujuan penerimaan pajak termasuk didalamnya proses
penegakan hukum melalui cara atau mekanisme hukum administrasi yang juga telah
diatur dalam undang-undang pajak itu sendiri. Sayangnya, upaya hukum yang sudah
diatur dengan jelas dalam undang-undang pajak acapkali tidak mendapat satu
pemahaman yang sama dengan aparat penegak hukum lainnya.
Padahal, kalau saja terjadi
sebaliknya, semua aparat hukum mengacu pada pemahaman sama sesuai undang-undang
pajak, dipastikan dunia usaha termasuk aparatur pajak tidak menjadi resah.
Keresahan dunia usaha dan petugas pajak akan
praktek pemidaann pantas
dicermati kalangan penegak hukum. Alangkah berbahaya bila saja
sasaran penerimaan pajak menjadi terganggu akibat praktek pemidanaan yang tidak
tepat dilakukan oleh pihak penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan hakim
pengadilan umum). Kelanjutan progran pembangunan bersumberkan dana pajak akan
tidak berjalan akibat pemidanaan dalam praktek hukum pajak.
Kajian Hukum Sebuah Kasus
Dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa
Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang
diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group
pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan
pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan
atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak. Sengketa
pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan
Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah,
dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah
antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan
perpajakan.
Namun,
Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa
kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat
ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa
pajak akan ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum
keberatan. Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan
Negeri.
Penolakan
eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum yang
dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana
karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal
Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa
dalam ranah hukum pidana, tentu menjadi kontradiktif terkait proses administrasi
pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib
Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan
pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif
pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi
keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti
diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak tergolong
sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur
hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai
dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam undang-undang pajak yang mengaturnya.
Kalau begitu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan cara pidana
menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak sebagai sumber
pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik (meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa
keresahan tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi
takut dipidana ketika persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan
dipersoalkan menjadi persoalan berindikasikan tindak pidana.
Pendapat
pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan
dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat
Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh
dipidana karena merupakan bagian dari hukum administrasi, harus menjadi
perhatian bersama. Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang
bersumber pada peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan
pelanggaran pidana. Dalam hukum pajak memuat unsur-unsur (i) hukum tata negara
dan hukum tata usaha negara, (ii) hukum perdata, dan (iii) hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah.
Diperlukan satu koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif
sebaiknya memimpin proses koordinasi demikian.
Hukum pidana dikenal sebagai ultimum
remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa
dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa
penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga
sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Tetapi
tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan,
setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung
pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.Untuk menjatuhkan
pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu
pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke)
baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu pasal. Sehubungan
dengan pendekatan ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem
hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut
menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini hukum pidana), yaitu struktur hukum,
substansi hukum, dan budaya hukumnya. Dari ketiga komponen inilah menurut
Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu
sistem.
Terkait dengan penanggulangan suatu
tindak pidana berdasarkan syarat keadilan dan daya guna, ada baiknya untuk
mencermati tori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa ada tiga tujuan
hukum (yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan) dalam melaksanakan ketiga
tujuan hukum ini dengan menggunakan “asas prioritas”. Akan tetapi keadilan
harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan
kemanfaatan. Dari ketiga tujuan hukum tersebut tidak lah dapat dilaksanakan
secara bersama karena sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali
antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara
keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan
kemanfaatan.
B.
Penjabaran Sanksi Pidana
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan,
ada 3 (tiga) macam sanksi pidana yang dikenal, yaitu :
1. Denda pidana
2. Pidana Kurungan
3. Pidana Penjara
1.
Denda Pidana
Berbeda dengan sanksi berupa administrasi yang
hanya diancam/dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan
perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada
juga yang diancamkan kepada Pejabat Pajak atau kepada pihak ketiga berdasarkan
KUHP. Denda pidana dikenakan terhadap tindak pidana yang bersifat pelanggaran
maupun yang bersifat kejahatan. Apabila denda pidana tidak dapat dilunasi oleh
yang bersangkutan maka sebagai gantinya, harus menjalani hukuman kurungan.
2.
Pidana kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak
pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada Wajib Pajak, Pejabat,
dan Pihak ketiga.
Pidana kurungan yang diancamkan kepada si
pelanggar, sifatnya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, karena
tindak pidana tersebut dilakukan tidak dengan sengaja atau karena kealpaan.
3.
Pidana Penjara
Pidana penjara prinsipnya sama halnya dengan pidana
kurungan yang merupakan hukuman perampasan badan seseorang. Jenis pidana ini
merupakan kejahatan. Ancaman hukuman pidana penjara dapat ditujukan pada Wajib
Pajak, Pejabat pajak, atau Pihak ketiga.
C.
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan
Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal,
pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem
pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminalisasi. Kebijakan
kriminalisasi sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan
problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)
tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan
kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk pencapaian hasil perundangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.Salah satu upaya
menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana
merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian
kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hekekatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare).
Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan penanggulangan tindak pidana dalam pembahasan makalah
ini terkait tindak pidana perpajakan
dengan menerapkan rezim anti money laundering (pencucian uang)
didasarkan bahwa pentingnya pajak bagi penyelenggaraan Negara, dalam upaya
mencegah berbagai rekayasa meminimalisasi beban pajak. Penanggulangan tindak
perpajakan dan akses negatif pada penyelenggeraan Negara dapat dibandingkan
diberbagai negara dalam kerangka penanggulangan tindak pidana perpajakan
seperti Belanda, terdapat doktrin fraus legis (distorsi hukum) dan richtige
heffing (penetapan kemudian) sebagai dasar untuk mengabaikan berbagai
mekanisme rekayasa yang dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk meminimalisir beban
pajak dan selanjutnya secara sederhana menetapkan jumlah pajak terutang dengan
menganggap rekayasa transaksi itu tidak
pernah ada.
Secara psikologis dan ekonomis, seseorang yang melakukan rekayasa
penggelapan pajak mengetahui secara pasti bahwa ia telah bertindak melawan
hukum dengan implikasi sosial dan psikologis, seperti adanya stigma merasa
bersalah dan mengundang risiko terbongkar dengan sanksi hukum pidana badan dan
denda. Sebaliknya, hal seperti ini tidak terdapat dalam praktik penghindaran
pajak karena tidak adanya tindakan melawan hukum yang dilakukan.
Prinsip pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam hukum pidana
pada sistem hukum di Indonesia dilandasi oleh adanya kesalahan (shuld) di
dalam perbuatan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan
pidana,sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam faham KUH
Pidana diperlukan beberapa syarat yakni: Pertama,
adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh kealpaan. Kedua,
adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Ketiga,
adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab dan tidak ada alasan pemaaf.
Kesalahan (schuld) sangat erat kaitannya dengan suatu kejahatan yang
dilakukan oleh subjek hukum manusia alamiah yang mengandung arti bahwa dapat
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum. Meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat
dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana
karena penjatuhan pidana memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Hal ini tentunya mengambarkan bahwa perbuatan melawan hukum
berhubungan dengan kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana dalam rangka
meminta pertanggungjawaban pelaku sesuai dengan asas geen straf zonder
schuld di dalam faham hukum pidana, untuk menentukan kesalahan sebagai
dasar penjatuhan pidana tentunya didasarkan kepada perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Selanjutnya pendekatan menyangkut penanggulangan tindak pidana
perpajakan melalui rezim anti money laundering didasarkan modus opzet
pelaku dengan maksud untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku
penggelapan pajak berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul
"hasil kejahatan" (proceeds of crime) dengan melakukan tindak
kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar dapat memaksimalkan
utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut. Untuk itu
diperlukan prinsip-prinsip transaksi keuangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemcegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang
adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK.
Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1
angka 5 UU No. 8 Tahun 2010) :
a.
Transaksi
Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d.
Transaksi
Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena
melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, hal-hal yang dapat
disimpulkan dalam makalah ini adalah :
Tindak pidana dibidang perpajakan adalah
suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang
menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman
pidana. Ketentuan yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana
pajak yang berisi peraturan-peraturan tentang:
1. Perbuatan-perbuatan
apa yang dapat diancam dengan hukuman,
2. Siapa-siapa
yang dapat dihukum, dan
3. Hukuman
apa yang dapat dijatuhkan.
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan,
ada 3 (tiga) macam sanksi pidana yang dikenal, yaitu :
1. Denda pidana
2. Pidana Kurungan
3. Pidana Penjara
B.
Saran
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak bertentangan
dengan UUD 1945sehingga pada pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah.
Lembaga pembuat undang-undang harus memberikan tafsiran yang jelas atas
undang-undang yang dibuatnya untuk menghindari terjadinya multitafsir oleh
masyarakat dalam memahami beberapa pasal dalam undang-undang. Rekomendasi yang
diberikan oleh para hakim konstitusi dapat menjadi bahan pertimbangan
dalammengoreksi aturan-aturan yang telah ada mengenai perpajakan, khususnya
Pengadilan Pajak.Dengan demikian, pembahasan RUU perpajakan yang baru dapat
menghasilkan sebuah produk undang-undang yang berkualitas, mempunyai
kepastian hukum, dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi Moeljo, 2001. Dasar-dasar Penagihan Pajak
dengan surat paksa oleh Juru sita pajak pusat dan daerah. ed. Revisi, cet.
4. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Markus Muda, 2005. Perpajakan Indonesia. Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Resmi Siti, 2009. Perpajakan : Teori dan Kasus. jil.
1, Jakarta : Salemba Empat.
Sutaman Putra, 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Pajak. http://fitrianasetya.blogspot.com/2012/03/hukum-penyelesaian-sengketa-pajak.html,
diakses 30 Mei 2013.
Yuda Yohanes Dwi Saputro, 2011. Tindak Pidana
dibidang Perpajakan. http://aviantara.files.wordpress.com, diakses
30 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar