Senin, 28 Juli 2014

PENYELESAIAN PAJAK SECARA PIDANA

Oleh Sulfiana


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
Masalah tindak pidana di bidang perpajakan merupakan hal yang sangat penting khususnya dalam rangka penegakkan hukum (law enforcement) yang harus dilaksanakan, agar ketentuan undang-undang dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, terlebih dalam memenuhi rasa keadilan di masyarakat dan kepastian hukum itu sendiri.
Tindak pidana itu sendiri adalah suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang-undang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum.

B.     Rumusan Masalah
Sehubungan dengan hal-hal pokok tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penyusunan makalah ini adalah :
1.      Mengapa penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) lebih memilih penyelesaian pajak secara pidana kepada wajib pajak yang melanggar?
2.      Bagaimanakah penjabaran sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak?
3.      Bagaimanakah upaya dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi pada perpajakan?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan makalah ini ialah :
1.      Mengetahui penyebab penegak hukum lebih memilih penyelesaian pajak secara pidana terhadap wajib pajak yang melanggar.
2.      Mengetahui sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak.
3.      Mengetahui proses penyelesaian kasus tindak pidana dibidang perpajakan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Dasar-Dasar Hukum Pajak
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri. Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”  Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pasca amandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal perpajakan.
Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun1983)  yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan AtasUndang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek  perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b.      Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu.
c.       Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya,aritinya pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan efisiensi).
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak nasional, asas-asas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini :
a.       Kesederhanaan ( simplification of law) Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b.      Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c.       Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara sudah memberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri. Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self assessment 
d.      Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e.       Kepastian dan jaminan hukum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan bersalah apabila belum ada bukti-bukti nyata.

B.     Kedudukan Hukum Pajak
R. Santoso Brotodiharjo menyatakan bahwa hukum pajak termasuk hukum publik. Hukum publik mnerupakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya. Hukum publik memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Menurutnya, yang termasuk hukum publik antara lain hukum tata negara, hukum pidana, hukum administratif, sedangkan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administratif. Meski demikian tidak berarti bahwa hukum pajak berdiri sendiri terlepas dari hukum pajak lainnya (seperti hukum perdata dan hukum pidana).
R. Santoso Brotodiharjo juga menyatakan bahwa hukum pajak berkaitan erat dengan hukum perdata. Hukum perdata merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang pribadi. Kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang tercakup dalam lingkungan perdata, seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak warisan, dan seterusnya. Adanya kaitan antara hukum pajak dan hukum perdata ditunjukkan dengan banyaknya istilah-istilah hukum perdata yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan. Sebaliknya, hukum pajak juga mempunyai pengaruh besar terhadap hukum perdata. Sebagai contoh, dalam hukum pajak terdapat ketentuan bahwa lex specialis (peraturan yang istimewa) harus diberi tempat yang lebih utama dari lex generalis (peraturan yang umum). Ketentuan ini diberlakukan pula dalam undang-undang atau peraturan yang lain, bahwasanya dalam setiap penafsirannya maka yang pertama-tama dianut adala lex specialis.
Hukum pajak juga berkaitan dengan hukum pidana. Hukum pidana, seperti yang telah tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu keseluruhan sistematis yang juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana yang diuraikan di luar KUHP. Hak untuk menyimpang dari peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHP di Indonesia telah diperoleh pembuat ordonansi semenjak 16 Mei 1927, dan kesempatan ini banyak digunakan karena kenyataan bahwa peraturan administratif pun sangat memerlukan sanksi-sanksi yang menjamin untuk ditaati oleh khalayak umum. Demikian pula dalam peraturan pajak, terdapat sanksi-sanksi yang bersifat khusus.


C.     
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Penyelesaian Pajak Secara Pidana Oleh Penegak Hukum
Dalam hidup bernegara, setiap orang diwajibkan untuk membayar pajak. Jadi, pajak sebagai kewajiban kenegaraan memberikan kontribusi untuk penerimaan negara berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Oleh karenanya pajak merupakan kewajiban semua warga masyarakat dan hukum pajak mengatur hubungan antara penguasa/negara dengan warganya (orang atau badan) dalam pemenuhan kewajiban perpajakan kepada negara. Dengan demikian hukum pajak tergolong dalam hukum publik yaitu hukum administrasi/tata usaha negara. Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara bersumber pada peristiwa-peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana.  Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga hukum yang bertugas mengumpulkan uang pajak, melakuka tugasnya berlandaskan pada administrasi pemungutan pajak sesuai undang-undang pajak. Sekalipun hukum pajak bagian dari hukum administrasi, materi pajak memang tidak lepas dari hukum perdata maupun pidana. Hukum pajak memiliki keterikatan kuat dengan hukum perdata dan juga hukum pidana. Bahkan istilah-istilah (terminologi hukum) yang digunakan dalam hukum pajak banyak mengambil dari istilah yang digunakan dalam hukum perdata maupun pidana.
Dekatnya hubungan hukum pajak dengan hukum perdata maupun pidana bisa dimaklumi karena segala macam transaksi ekonomi dalam hukum perdata menjadi sasaran atau objek dari hukum pajak. Soal kealpaan dan kesengajaan yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP pada dasarnya mengacu pada pengertian kealpaan dan kesengajaan dalam hukum pidana. Demikian juga misalnya soal Wajib Pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam dengan Pasal 231 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dapat dikatakan bahwa pemungutan pajak (pemajakan) adalah serangkaian proses administrasi yang bertujuan untuk memperoleh uang pajak berlandaskan undang-undang perpajakan yang mengaturnya. Serangkaian proses administrasi inilah yang menjadi alat pemerintah mencapai tujuan penerimaan pajak termasuk didalamnya proses penegakan hukum melalui cara atau mekanisme hukum administrasi yang juga telah diatur dalam undang-undang pajak itu sendiri. Sayangnya, upaya hukum yang sudah diatur dengan jelas dalam undang-undang pajak acapkali tidak mendapat satu pemahaman yang sama dengan aparat penegak hukum lainnya.
Padahal, kalau saja terjadi sebaliknya, semua aparat hukum mengacu pada pemahaman sama sesuai undang-undang pajak, dipastikan dunia usaha termasuk aparatur pajak tidak menjadi resah. Keresahan dunia usaha dan petugas pajak akan
praktek pemidaann pantas dicermati kalangan penegak hukum.  Alangkah berbahaya bila saja sasaran penerimaan pajak menjadi terganggu akibat praktek pemidanaan yang tidak tepat dilakukan oleh pihak penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan hakim pengadilan umum). Kelanjutan progran pembangunan bersumberkan dana pajak akan tidak berjalan akibat pemidanaan dalam praktek hukum pajak.

Kajian Hukum Sebuah Kasus
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak. Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah, dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum keberatan. Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan Negeri.
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum yang dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum pidana, tentu menjadi kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam undang-undang pajak yang mengaturnya. Kalau begitu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik (meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi persoalan berindikasikan tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena merupakan bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama. Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam hukum pajak memuat unsur-unsur (i) hukum tata negara dan hukum tata usaha negara, (ii) hukum perdata, dan (iii) hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin proses koordinasi demikian.
Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu pasal. Sehubungan dengan pendekatan ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini  hukum pidana), yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukumnya. Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.
Terkait dengan penanggulangan suatu tindak pidana berdasarkan syarat keadilan dan daya guna, ada baiknya untuk mencermati tori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa ada tiga tujuan hukum (yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan) dalam melaksanakan ketiga tujuan hukum ini dengan menggunakan “asas prioritas”. Akan tetapi keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Dari ketiga tujuan hukum tersebut tidak lah dapat dilaksanakan secara bersama karena sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.

B.     Penjabaran Sanksi Pidana
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan, ada 3 (tiga) macam sanksi pidana yang dikenal, yaitu :
1.      Denda pidana
2.      Pidana Kurungan
3.      Pidana Penjara

1.      Denda Pidana
Berbeda dengan sanksi berupa administrasi yang hanya diancam/dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada juga yang diancamkan kepada Pejabat Pajak atau kepada pihak ketiga berdasarkan KUHP. Denda pidana dikenakan terhadap tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun yang bersifat kejahatan. Apabila denda pidana tidak dapat dilunasi oleh yang bersangkutan maka sebagai gantinya, harus menjalani hukuman kurungan.

2.      Pidana kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada Wajib Pajak, Pejabat, dan Pihak ketiga.
Pidana kurungan yang diancamkan kepada si pelanggar, sifatnya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, karena tindak pidana tersebut dilakukan tidak dengan sengaja atau karena kealpaan.

3.      Pidana Penjara
Pidana penjara prinsipnya sama halnya dengan pidana kurungan yang merupakan hukuman perampasan badan seseorang. Jenis pidana ini merupakan kejahatan. Ancaman hukuman pidana penjara dapat ditujukan pada Wajib Pajak, Pejabat pajak, atau Pihak ketiga.
C.    Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan
Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal, pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana non penal. Penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk  pencapaian hasil perundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pendekatan penanggulangan tindak pidana dalam pembahasan makalah ini  terkait tindak pidana perpajakan dengan menerapkan rezim anti money laundering (pencucian uang) didasarkan bahwa pentingnya pajak bagi penyelenggaraan Negara, dalam upaya mencegah berbagai rekayasa meminimalisasi beban pajak. Penanggulangan tindak perpajakan dan akses negatif pada penyelenggeraan Negara dapat dibandingkan diberbagai negara dalam kerangka penanggulangan tindak pidana perpajakan seperti Belanda, terdapat doktrin fraus legis (distorsi hukum) dan richtige heffing (penetapan kemudian) sebagai dasar untuk mengabaikan berbagai mekanisme rekayasa yang dimanfaatkan oleh Wajib Pajak untuk meminimalisir beban pajak dan selanjutnya secara sederhana menetapkan jumlah pajak terutang dengan menganggap rekayasa  transaksi itu tidak pernah ada. Secara psikologis dan ekonomis, seseorang yang melakukan rekayasa penggelapan pajak mengetahui secara pasti bahwa ia telah bertindak melawan hukum dengan implikasi sosial dan psikologis, seperti adanya stigma merasa bersalah dan mengundang risiko terbongkar dengan sanksi hukum pidana badan dan denda. Sebaliknya, hal seperti ini tidak terdapat dalam praktik penghindaran pajak karena tidak adanya tindakan melawan hukum yang dilakukan.
Prinsip pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam hukum pidana pada sistem hukum di Indonesia dilandasi oleh adanya kesalahan (shuld) di dalam perbuatan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana,sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat yakni: Pertama, adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh kealpaan. Kedua, adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Ketiga, adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab dan tidak ada alasan pemaaf. Kesalahan (schuld) sangat erat kaitannya dengan suatu kejahatan yang dilakukan oleh subjek hukum manusia alamiah yang mengandung arti bahwa dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum. Meskipun perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana karena penjatuhan pidana memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Hal ini tentunya mengambarkan bahwa perbuatan melawan hukum berhubungan dengan kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku sesuai dengan asas geen straf zonder schuld di dalam faham hukum pidana, untuk menentukan kesalahan sebagai dasar penjatuhan pidana tentunya didasarkan kepada perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Selanjutnya pendekatan menyangkut penanggulangan tindak pidana perpajakan melalui rezim anti money laundering didasarkan modus opzet pelaku dengan maksud untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan pajak berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul "hasil kejahatan" (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut. Untuk itu diperlukan prinsip-prinsip transaksi keuangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemcegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK.
Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 5 UU No. 8 Tahun 2010) :
a.      Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b.      Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c.      Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d.     Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah :
Tindak pidana dibidang perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi peraturan-peraturan tentang:
1. Perbuatan-perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman,
2. Siapa-siapa yang dapat dihukum, dan
3. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan.
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan, ada 3 (tiga) macam sanksi pidana yang dikenal, yaitu :
1.      Denda pidana
2.      Pidana Kurungan
3.      Pidana Penjara

B.     Saran
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak bertentangan dengan UUD 1945sehingga pada pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah. Lembaga pembuat undang-undang harus memberikan tafsiran yang jelas atas undang-undang yang dibuatnya untuk menghindari terjadinya multitafsir oleh masyarakat dalam memahami beberapa pasal dalam undang-undang. Rekomendasi yang diberikan oleh para hakim konstitusi dapat menjadi bahan pertimbangan dalammengoreksi aturan-aturan yang telah ada mengenai perpajakan, khususnya Pengadilan Pajak.Dengan demikian, pembahasan RUU perpajakan yang baru dapat menghasilkan sebuah produk undang-undang yang berkualitas, mempunyai kepastian hukum, dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
   



DAFTAR PUSTAKA

Hadi Moeljo, 2001. Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan surat paksa oleh Juru sita pajak pusat dan daerah. ed. Revisi, cet. 4. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Markus Muda, 2005. Perpajakan Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Resmi Siti, 2009. Perpajakan : Teori dan Kasus. jil. 1, Jakarta : Salemba Empat.

Sutaman Putra, 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Pajak. http://fitrianasetya.blogspot.com/2012/03/hukum-penyelesaian-sengketa-pajak.html, diakses 30 Mei 2013.

Yuda Yohanes Dwi Saputro, 2011. Tindak Pidana dibidang Perpajakan. http://aviantara.files.wordpress.com, diakses 30 Mei 2013.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar