Oleh Sulfiana
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan sehari-hari ini,
kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di
antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah
keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya
hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat
mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk
berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan
bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang
adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam
menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan
sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Hutang piutang (Arab, القرض او الدين)adalah suatu
transaksi di mana seseorang meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji
akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan. Hutang termasuk muamalah
(transaksi) antara manusia yang cukup mendapat perhatian dalam Islam karena ada
unsur ekonomi dan hak individu yang dalam Islam sangat dihormati.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran utang piutang dalam
kehidupan sehari-hari?
2. Bagaimanakah adab islam dalam utang
piutang?
3. Bagaimanakah pandangan islam terhadap
utang piutang?
4. Bagaimanakah Hadis Tentang Hutang
Piutang?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Gambaran Utang Piutang Dalam Kehidupan Sehari-hari
1.
Pengertian Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang
atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh
secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.[1]
Sedangkan secara terminologis
(istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang)
sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia
akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.[2]
(Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah
Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim
Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang
Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman
kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan
jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu
juta juga.
2.
Hutang untuk Keperluan mendesak atau darurat
Walaupun berhutang itu boleh
(mubah), namun hendaknya dilakukan untuk kebutuhan yang penting dan mendesak
karena ada bahaya apabila tidak mampu membayar hutang. Jangan hutang untuk kebutuhan
konsumtif seperti memperbarui mobil atau mengganti perabot rumah yang masih
cukup baik, dll.[3]
Nabi memerintahkan agar kita hidup
penuh syukur dengan cara melihat ke bawah bukan ke atas :
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَي
Artinya: Lihatlah
kepada orang yang lebih rendah darimu (taraf ekonominya). Jangan melihat orang
yang lebih tinggi darimu. Hal itu lebih baik agar kamu tidak melupakan nikmat
(anugerah) Allah padamu.
B.
Adab Islam Dalam Utang Piutang
1.
Hutang piutang harus ditulis dan
dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah I: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dariNya untuk
hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai,
hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan
saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah
satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan
agar tidak mendatangkan keraguan”.[4]
2.
Pemberi hutang atau pinjaman tidak
boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap
hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi
jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain,
bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu
meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang
memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman
adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari
kompensasi atau keuntungan.
Dengan dasar itu, berarti pinjaman
berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini
jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga
bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
3.
Kebaikan sepantasnya dibalas dengan
kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata:
“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia
tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan
kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi
mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun)
berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya
dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik
kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.
4.
Berhutang dengan niat baik dan akan
melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan
tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk
tersebut seperti:
a) Berhutang
untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b) Berhutang
untuk sekedar bersenang-senang
c) Berhutang
dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan
istilah hutang agar mau memberi.
d) Berhutang
dengan niat tidak akan melunasinya.
5.
Tidak boleh melakukan jual beli yang
disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan
itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang
berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang
yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan
peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234,
An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”). Yakni
agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang
diharamkan.
6.
Jika terjadi keterlambatan karena
kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada
orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari
menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7.
Menggunakan uang pinjaman dengan
sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua
yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam
Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan
selainnya).
8.
Diperbolehkan bagi yang berhutang
untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari
perantara (syafa’at) untuk memohonnya[5]
9.
Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia
berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki
kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda
pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.
Sebagaimana sabda Nabi : “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu
merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya
dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah,
bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
10. Memberikan
Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya
setelah jatuh tempo.
Allah I berfirman: “Dan jika
(orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
C.
Pandangan
Islam Terhadap Utang Piutang
Bagaimana Islam mengatur
berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api
neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:[6]
1.
Hutang
piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Firman
Allah dalam QS. Al-baqarah : 282.
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para
hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai,
hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih
menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat
persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”.
2.
Pemberi
hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang
yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa
keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya
mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
3.
Melunasi
Utang dengan cara yang baik
Termasuk cara yang baik dalam
melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah
ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang),
melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.[7]
4.
Berhutang
dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan
tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk
tersebut seperti:
a) Berhutang
untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b) Berhutang
untuk sekedar bersenang-senang
c) Berhutang
dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan
istilah hutang agar mau memberi.
d) Berhutang
dengan niat tidak akan melunasinya.
5.
Berupaya
untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang
halal.
6.
Tidak
berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
7.
Tidak
boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
8. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan
keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang
memberikan pinjaman.
9. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin.
Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan
pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara
(syafa’at) untuk memohonnya.
11. Bersegera melunasi hutang
12. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang
sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
D.
Hadis
Yang Berkaitan Dengan Utang Piutang
1.
Menunda Pembayaran Utang
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah Ra sesungguhnya
Rasulullah bersabda: “Penundaan Bayar Hutang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika
salah seorang meminta mengalihkan hutangnya kepada orang kaya hendaklah
diterima. (HR. Muttaffaq ‘alaih, Abu
Dawud, al-Turmuzi, al-Nasaiy, Ibn Majah Ahmad, Malik dan al-Darimi)
Penjelasan Hadis :
Orang yang berhutang hendaknya ia
berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki
kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda
pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat
zhalim.
Hutang asal untuk kebaikan dan
kebutuhan adalah sesuatu yang boleh. Tetapi ingatlah ia haruslah dibayar pada
waktunya. Menunda pembayaran, pada hal sebenarnya ada kelapangan adalah
penganiayaan yang merugikan pihak penghutang. Harta yang banyak sesungguhnya
tak ada nilainya jika kita masih belum menunaikan kewajiban membayar hutang.
Karena itu, begitu ada kemampuan, segeralah menyisihkannya.[8]
2.
Melunasi Hutang dengan Cara yang baik
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
Dari Abu Hirairah Ra. “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang,
(yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya.
(Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang
seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih
berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab,
“Engkau telah menunaikannya membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Idengan lebih.
Semoga Allah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik
dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no.
2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah ,ra ia
berkata: “Aku mendatangi Nabi di masjid sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku,
lalu beliau membayarnya dan menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab
husnul Qadha’, no. 2264)
Penjelasan hadis :
Tambahan
tersebut adanya setelah pembayaran dan tidak disyariatkan sebelumnya. Ini
diperbolehkan dengan dasar hadis di atas. Apabila si peminjam melebihkan uang pengembalian
(tanpa perjanjian sebelumnya atau paksaan) maka kelebihannya itu menjadi
hadiah. Hal ini juga menjadi tanda rasa syukur atas bantuan yang diberikan si
pemberi hutang. Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan
atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, maka kelebihan tersebut
halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kita telah
mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah
DIPERBOLEHKAN. Dalam
ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan
untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan
seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam
neraka.
Sesungguhnya utang piutang merupakan bentuk mu’amalah yang bercorak
ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Sumber Ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadis) sangat kuat menyerukan prinsip
hidup gotong royong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut piutang untuk
menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan dengan istilah
“menghutangkan kepada Allah dengan hutang baik”.
B.
Saran
Hak-hak
hamba itu harus ditunaikan. Oleh karena itu, orang yang mempunyai hutang,
siapapun juga, hendaklah dia berusaha keras untuk bisa menjumpainya atau
menemui ahli warisnya, jika sudah meninggal dunia. Dan dalam keadaan dia tidak
lagi sanggup menjumpainya atau ahli warisnya atau sahabatnya, karena orang yang
dicarinya sudah pindah ke negeri yang tidak diketahuinya atau tidak dia ketahui
alamatnya, atau lupa namanya secara keseluruhan, maka hendaklah dia membayarkan
hutangnya itu kepada kaum fakir miskin dengan niat untuk pemiliknya.
Orang
yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin
tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab
orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia
tergolong orang yang berbuat zhalim.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahim
Abdullah, 2012. Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyah
Al-Mu’ashirah.http://sites.google.com/pengertian-utang-piutang.html. diunduh
10/01/13.
Pranoto
Dharma Eka, 2008. Panduan Manajemen Hutang. Jakarta : Andi Publisher.
Godam64,
2006. http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam. Diunduh
11/01/13, 08.20 AM.
Mas’adi
A. Gufron, 2002. Fiqh Muamalah
Kontekstual. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada). hal. 169.
http://cahayailmu.info/2011/06/09/adab-hutang-piutang/,
diunduh 11/01/13, 08.17 AM.
Helmi
Syafrizal, 2008. Kebijakan Piutang. http://syafrizalhelmi.blogspot.com/ kebijakan-piutang.html.
Diunduh 11/01/13.
Muhammad
Syaikh, 2011. Fikih Hadis. http://resensi.cordova-bookstore.com. Jil
ketiga, penerbit: Darus Sunnah. Diunduh 11/01/13.
Washito
Muhammad, 2012. Utang Piutang. http://sites.google.com/utang-piutang.html.
diunduh 10/01/13. 09.52 AM.
[1] Muhammad Washito. Utang Piutang. http://sites.google.com/utang-piutang.html,
2012. diunduh 10/01/13. 09.52 AM.
[2] Abdullah Abdurrahim. Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif
Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah.2012. http://sites.google.com/pengertian-utang-piutang.html.
diunduh 10/01/13.
[3] Gufron A. Mas’adi. Fiqh
Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002). hal. 169.
[4] http://cahayailmu.info/2011/06/09/adab-hutang-piutang/, diunduh
11/01/13, 08.17 AM.
[5] Syafrizal Helmi. Kebijakan Piutang. http://syafrizalhelmi.blogspot.com/2008/06/kebijakan-piutang.html,
2008. Diunduh 11/01/13.
[6] Godam 64. http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam,
2006. Diunduh 11/01/13, 08.20 AM.
[7] Eka Dharma Pranoto. Panduan Manajemen Hutang. Jakarta : Andi
Publisher, 2008.
[8]Syaikh Muhammad. Fikih Hadis. http://resensi.cordova-bookstore.com/, 2011. Jil ketiga, penerbit: Darus Sunnah. Diunduh
11/01/13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar