Senin, 28 Juli 2014

UTANG PIUTANG


Oleh Sulfiana


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. 
Hutang piutang (Arab, القرض او الدين)adalah suatu transaksi di mana seseorang meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan. Hutang termasuk muamalah (transaksi) antara manusia yang cukup mendapat perhatian dalam Islam karena ada unsur ekonomi dan hak individu yang dalam Islam sangat dihormati.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah gambaran utang piutang dalam kehidupan sehari-hari?
2.      Bagaimanakah adab islam dalam utang piutang?
3.      Bagaimanakah pandangan islam terhadap utang piutang?
4.      Bagaimanakah Hadis Tentang Hutang Piutang?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Gambaran Utang Piutang Dalam Kehidupan Sehari-hari
1.      Pengertian  Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.[1]
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.[2] (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
2.      Hutang untuk Keperluan mendesak atau darurat
Walaupun berhutang itu boleh (mubah), namun hendaknya dilakukan untuk kebutuhan yang penting dan mendesak karena ada bahaya apabila tidak mampu membayar hutang. Jangan hutang untuk kebutuhan konsumtif seperti memperbarui mobil atau mengganti perabot rumah yang masih cukup baik, dll.[3]
Nabi memerintahkan agar kita hidup penuh syukur dengan cara melihat ke bawah bukan ke atas :

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَي
Artinya: Lihatlah kepada orang yang lebih rendah darimu (taraf ekonominya). Jangan melihat orang yang lebih tinggi darimu. Hal itu lebih baik agar kamu tidak melupakan nikmat (anugerah) Allah padamu.

B.     Adab Islam Dalam Utang Piutang
1.      Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”.[4]
2.      Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
3.      Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.
4.      Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a)      Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b)      Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c)      Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d)     Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
5.      Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”). Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
6.      Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7.      Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam  Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).
8.      Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya[5]
9.      Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi : “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
10.  Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah I berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
C.    Pandangan Islam Terhadap Utang Piutang
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:[6]
1.      Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Firman Allah dalam QS. Al-baqarah : 282.
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”.

2.      Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
3.      Melunasi Utang dengan cara yang baik
Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.[7]
4.      Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a)      Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b)      Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c)      Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d)     Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
5.       Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
6.       Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
7.       Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
8.       Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
9.       Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
10.   Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
11.   Bersegera melunasi hutang
12.   Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
D.     Hadis Yang Berkaitan Dengan Utang Piutang
1.      Menunda Pembayaran Utang

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah Ra sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Penundaan Bayar Hutang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang meminta mengalihkan hutangnya kepada orang kaya hendaklah diterima. (HR. Muttaffaq ‘alaih, Abu Dawud, al-Turmuzi, al-Nasaiy, Ibn Majah Ahmad, Malik dan al-Darimi)
Penjelasan Hadis :
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.
Hutang asal untuk kebaikan dan kebutuhan adalah sesuatu yang boleh. Tetapi ingatlah ia haruslah dibayar pada waktunya. Menunda pembayaran, pada hal sebenarnya ada kelapangan adalah penganiayaan yang merugikan pihak penghutang. Harta yang banyak sesungguhnya tak ada nilainya jika kita masih belum menunaikan kewajiban membayar hutang. Karena itu, begitu ada kemampuan, segeralah menyisihkannya.[8]
2.      Melunasi Hutang dengan Cara yang baik

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
Dari Abu Hirairah Ra.  “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Idengan lebih. Semoga Allah  bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
 
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah  ,ra ia berkata: “Aku mendatangi Nabi di masjid sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Penjelasan hadis :
Tambahan tersebut adanya setelah pembayaran dan tidak disyariatkan sebelumnya. Ini diperbolehkan dengan dasar hadis di atas. Apabila si peminjam melebihkan uang pengembalian (tanpa perjanjian sebelumnya atau paksaan) maka kelebihannya itu menjadi hadiah. Hal ini juga menjadi tanda rasa syukur atas bantuan yang diberikan si pemberi hutang. Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, maka kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN. Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Sesungguhnya utang piutang merupakan bentuk mu’amalah yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber Ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadis) sangat kuat menyerukan prinsip hidup gotong royong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut piutang untuk menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan dengan istilah “menghutangkan kepada Allah dengan hutang baik”.

B.     Saran
Hak-hak hamba itu harus ditunaikan. Oleh karena itu, orang yang mempunyai hutang, siapapun juga, hendaklah dia berusaha keras untuk bisa menjumpainya atau menemui ahli warisnya, jika sudah meninggal dunia. Dan dalam keadaan dia tidak lagi sanggup menjumpainya atau ahli warisnya atau sahabatnya, karena orang yang dicarinya sudah pindah ke negeri yang tidak diketahuinya atau tidak dia ketahui alamatnya, atau lupa namanya secara keseluruhan, maka hendaklah dia membayarkan hutangnya itu kepada kaum fakir miskin dengan niat untuk pemiliknya.
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim Abdullah, 2012. Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah.http://sites.google.com/pengertian-utang-piutang.html. diunduh 10/01/13.

Pranoto Dharma Eka, 2008. Panduan Manajemen Hutang. Jakarta : Andi Publisher.

Godam64, 2006. http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam. Diunduh 11/01/13, 08.20 AM.

Mas’adi A. Gufron, 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada). hal. 169.

http://cahayailmu.info/2011/06/09/adab-hutang-piutang/, diunduh 11/01/13, 08.17 AM.

Helmi Syafrizal, 2008. Kebijakan Piutang. http://syafrizalhelmi.blogspot.com/ kebijakan-piutang.html. Diunduh 11/01/13.

Muhammad Syaikh, 2011. Fikih Hadis.  http://resensi.cordova-bookstore.com. Jil ketiga, penerbit: Darus Sunnah. Diunduh 11/01/13.

Washito Muhammad, 2012. Utang Piutang. http://sites.google.com/utang-piutang.html. diunduh 10/01/13. 09.52 AM.





[1] Muhammad Washito. Utang Piutang. http://sites.google.com/utang-piutang.html, 2012. diunduh 10/01/13. 09.52 AM.
[2] Abdullah Abdurrahim. Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah.2012. http://sites.google.com/pengertian-utang-piutang.html. diunduh 10/01/13.
[3] Gufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002). hal. 169.

[4] http://cahayailmu.info/2011/06/09/adab-hutang-piutang/, diunduh 11/01/13, 08.17 AM.
[5] Syafrizal Helmi. Kebijakan Piutang. http://syafrizalhelmi.blogspot.com/2008/06/kebijakan-piutang.html, 2008. Diunduh 11/01/13.
[6] Godam 64. http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam, 2006. Diunduh 11/01/13, 08.20 AM.
[7] Eka Dharma Pranoto. Panduan Manajemen Hutang. Jakarta : Andi Publisher, 2008.
[8]Syaikh Muhammad. Fikih Hadis.  http://resensi.cordova-bookstore.com/, 2011.  Jil ketiga, penerbit: Darus Sunnah. Diunduh 11/01/13.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar